IDEOLOGI, PANCASILA, DAN KONSTITUSI


Pendahuluan 

Pada prinsipnya terdapat tiga arti utama dari kata ideologi, yaitu (1) ideologi sebagai kesadaran palsu; (2) ideologi dalam arti netral; dan (3) ideologi dalam arti keyakinan yang tidak ilmiah.[2] Ideologi dalam arti yang pertama, yaitu sebagai kesadaran palsu biasanya dipergunakan oleh kalangan filosof dan ilmuwan sosial. Ideologi adalah teori-teori yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya. Ideologi juga dilihat sebagai sarana kelas atau kelompok sosial tertentu yang berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya. 

Arti kedua adalah ideologi dalam arti netral. Dalam hal ini ideologi adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu. Arti kedua ini terutama ditemukan dalam negara-negara yang menganggap penting adanya suatu “ideologi negara”. Disebut dalam arti netral karena baik buruknya tergantung kepada isi ideologi tersebut.[3]

Arti ketiga, ideologi sebagai keyakinan yang tidak ilmiah, biasanya digunakan dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik. Segala pemikiran yang tidak dapat dibuktikan secara logis-matematis atau empiris adalah suatu ideologi. Segala masalah etis dan moral, asumsi-asumsi normatif, dan pemikiran-pemikiran metafisis termasuk dalam wilayah ideologi.[4]

Dari tiga arti kata ideologi tersebut, yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah ideologi dalam arti netral, yaitu sebagai sistem berpikir dan tata nilai dari suatu kelompok. Ideologi dalam arti netral tersebut ditemukan wujudnya dalam ideologi negara atau ideologi bangsa. Hal ini sesuai dengan pembahasan Pancasila sebagai ideologi negara Republik Indonesia. 



Tipe-Tipe Ideologi 

Terdapat dua tipe ideologi sebagai ideologi suatu negara. Kedua tipe tersebut adalah ideologi tertutup dan ideologi terbuka.[5] Ideologi tertutup adalah ajaran atau pandangan dunia atau filsafat yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial, yang ditasbihkan sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima sebagai sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi. Kebenaran suatu ideologi tertutup tidak boleh dipermasalahkan berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang lain. Isinya dogmatis dan apriori sehingga tidak dapat dirubah atau dimodifikasi berdasarkan pengalaman sosial. Karena itu ideologi ini tidak mentolerir pandangan dunia atau nilai-nilai lain. 

Salah satu ciri khas suatu ideologi tertutup adalah tidak hanya menentukan kebenaran nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, tetapi juga menentukan hal-hal yang bersifat konkret operasional. Ideologi tertutup tidak mengakui hak masing-masing orang untuk memiliki keyakinan dan pertimbangannya sendiri. Ideologi tertutup menuntut ketaatan tanpa reserve. 

Ciri lain dari suatu ideologi tertutup adalah tidak bersumber dari masyarakat, melainkan dari pikiran elit yang harus dipropagandakan kepada masyarakat. Sebaliknya, baik-buruknya pandangan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat dinilai sesuai tidaknya dengan ideologi tersebut. Dengan sendirinya ideologi tertutup tersebut harus dipaksakan berlaku dan dipatuhi masyarakat oleh elit tertentu, yang berarti bersifat otoriter dan dijalankan dengan cara yang totaliter. 

Contoh paling baik dari ideologi tertutup adalah Marxisme-Leninisme. Ideologi yang dikembangkan dari pemikiran Karl Marx yang dilanjutkan oleh Vladimir Ilianov Lenin ini berisi sistem berpikir mulai dari tataran nilai dan prinsip dasar dan dikembangkan hingga praktis operasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ideologi Marxisme-Leninisme meliputi ajaran dan paham tentang (a) hakikat realitas alam berupa ajaran materialisme dialektis dan ateisme; (b) ajaran makna sejarah sebagai materialisme historis; (c) norma-norma rigid bagaimana masyarakat harus ditata, bahkan tentang bagaimana individu harus hidup; dan (d) legitimasi monopoli kekuasaan oleh sekelompok orang atas nama kaum proletar.[6]

Tipe kedua adalah ideologi terbuka. Ideologi terbuka hanya berisi orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan norma-norma sosial-politik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai dan prinsip moral yang berkembang di masyarakat. Operasional cita-cita yang akan dicapai tidak dapat ditentukan secara apriori, melainkan harus disepakati secara demokratis. Dengan sendirinya ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai melegitimasi kekuasaan sekelompok orang. Ideologi terbuka hanya dapat ada dan mengada dalam sistem yang demokratis. 



Perkembangan Ideologi Dunia 

Istilah ideologi negara mulai banyak digunakan bersamaan dengan perkembangan pemikiran Karl Marx yang dijadikan sebagai ideologi beberapa negara pada abad ke-18. Namun sesungguhnya konsepsi ideologi sebagai cara pandang atau sistem berpikir suatu bangsa berdasarkan nilai dan prinsip dasar tertentu telah ada sebelum kelahiran Marx sendiri. Bahkan awal dan inti dari ajaran Marx adalah kritik dan gugatan terhadap sistem dan struktur sosial yang eksploitatif berdasarkan ideologi kapitalis. 

Pemikiran Karl Marx kemudian dikembangkan oleh Engels dan Lenin kemudian disebut sebagai ideologi sosialisme-komunisme. Sosialisme lebih pada sistem ekonomi yang mengutamakan kolektivisme dengan titik ekstrem menghapuskan hak milik pribadi, sedangkan komunisme menunjuk pada sistem politik yang juga mengutamakan hak-hak komunal, bukan hak-hak sipil dan politik individu. Ideologi tersebut berhadapan dengan ideologi liberalisme-kapitalis yang menekankan pada individualisme baik dari sisi politik maupun ekonomi. 

Kedua ideologi besar tersebut menjadi ideologi utama negara-negara dunia pasca perang dunia kedua hingga berakhirnya era perang dingin. Walaupun demikian baik komunisme maupun kapitalisme memiliki warna yang berbeda-beda dalam penerapannya di tiap wilayah. Ideologi selalu menyesuaikan dengan medan pengalaman dari suatu bangsa dan masyarakat. Komunisme Uni Soviet berbeda dengan komunisme di Yugoslavia, Cina, Korea Utara, dan beberapa negara Amerika Latin. Demikian pula dengan kapitalisme yang memiliki perbedaan antara yang berkembang di Eropa Barat, Amerika Serikat, dan Asia. 

Walaupun negara-negara yang menganut kedua besaran ideologi tersebut saling berhadap-hadapan, namun proses penyesuaian diantara kedua ideologi tersebut tidak dapat dihindarkan. Kapitalisme, dalam perkembangannya banyak menyerap unsur-unsur dari sosialisme. Setelah mengalami krisis besar pada tahun 1920-an (the great depression) Amerika Serikat banyak mengadopsi kebijakan-kebijakan intervensi negara di bidang ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan-kebijakan tersebut kemudian berkembang menjadi konsep negara tersendiri, bahkan ada yang menyebutnya sebagai ideologi, yaitu negara kesejahteraan (welfare state) yang berbeda dengan ideologi kapitalisme klasik. 

Di sisi lain, beberapa negara komunis yang semula sangat tertutup lambat-laun membuka diri, terutama dalam bentuk pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik. Proses demokratisasi terjadi secara bertahap hingga keruntuhan negara-negara komunis yang ditandai dengan tercerai-berainya Uni Soviet dan Yugoslavia pada dekade 1990-an. 

Ada yang menafsirkan bahwa keruntuhan Uni Soviet dan Yugoslavia sebagai pilar utama adalah tanda kekalahan komunisme berhadapan dengan kapitalisme. Bahkan Fukuyama pernah mendalilkan hal ini sebagai berakhirnya sejarah yang selama ini merupakan panggung pertentangan antara kedua ideologi besar tersebut. Namun kesimpulan tersebut tampaknya terlalu premature. Keruntuhan komunisme, tidak dapat dikatakatan sebagai kemenangan kapitalisme karena dua alasan, yaitu (a) ide-ide komunisme, dan juga kapitalisme tidak pernah mati; dan (b) ideologi kapitalisme yang ada sekarang telah menyerap unsur-unsur sosialisme dan komunisme. 

Ide-ide komunisme tetap hidup, dan memang perlu dipelajari sebagai sarana mengkritisi sistem sosial dan kebijakan yang berkembang. Ide-ide tersebut juga dapat hidup kembali menjadi suatu gerakan jika kapitalisme yang saat ini mulai kembali ke arah libertarian berada di titik ekstrim sehingga menimbulkan krisis sosial. Demikian pula halnya dengan gerakan-gerakan demokratisasi dan perjuangan atas hak-hak individu akan muncul pada sistem yang terlalu menonjolkan komunalisme. 



Ideologi dan Konstitusi: Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka 

Menurut Brian Thompson, secara sederhana pertanya­an: what is a constitution dapat dijawab bahwa “…a consti­tution is a document which contains the rules for the the operation of an organization”[7]. Organisasi dimaksud bera­gam bentuk dan kompleksitas struktur­nya. Negara sebagai salah satu bentuk organisasi, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Hanya Inggris dan Israel saja yang sampai sekarang dikenal tidak memiliki satu naskah tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar di kedua negara ini tidak pernah dibuat, tetapi tum­buh[8] menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan. Namun para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris.[9]

Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang meng­ikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedau­latan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang dise­but oleh para ahli sebagai constituent power[10] yang merupakan kewe­nangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diatur­nya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demo­krasi, rak­yatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi. 

Constituent power menda­hului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pe­me­rin­tahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi.[11] Pengertian constituent power berkaitan pula dengan pengertian hirarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di bawah Undang-Undang Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut. 

Konstitusi selalu terkait dengan paham konstitusionalisme. Walton H. Hamilton menyatakan “Consti­tutionalism is the name given to the trust which men repose in the power of words eng­rossed on parchment to keep a government in order”[12]. Untuk tujuan to keep a government in order itu diperlukan pengaturan yang sede­mikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses peme­rintahan dapat dibatasi dan dikendalikan seba­gai­mana mestinya. Gagasan mengatur dan membatasi kekua­saan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merespons perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan umat manusia. 

Konstitusionalisme di zaman sekarang dianggap sebagai suatu konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Seper­ti dikemukakan oleh C.J. Friedrich sebagaimana dikutip di atas, “constitutionalism is an insti­tutionalized system of effective, regularized restraints upon governmental action”. Basis pokoknya adalah kesepa­katan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayo­ritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.[13] Kata kunci­nya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepa­katan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi ke­kua­saan negara yang bersangkutan, dan pada gi­lir­annya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi. Hal ini misal­nya, ter­cermin dalam tiga peristiwa besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi di Perancis tahun 1789, di Ame­rika pada tahun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917, ataupun peristiwa besar di In­do­nesia pada tahun 1945, 1965 dan 1998. 

Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalis­me di zaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kese­pakatan (consensus), yaitu[14]

1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government). 

2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government). 

3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prose­dur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures). 



Kesepakatan (consensus) pertama, yaitu berkenaan de­ngan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konsti­tusi dan konsti­tusionalisme di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mung­kin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kema­jemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin ke­ber­samaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan pe­rumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa ju­ga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam kon­teks kehidupan bernegara. 

Di Indonesia, dasar-dasar filosofis yang dimaksudkan itulah yang biasa disebut sebagai Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewu­judkan empat tujuan bernegara. Lima prinsip dasar Panca­sila itu mencakup sila atau prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal berne­gara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan kesejah­teraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerde­kaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial. 

Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa basis peme­rin­tahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks pe­nyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule of the game yang ditentukan bersama. Istilah yang biasa diguna­kan untuk itu adalah the rule of law yang dipelo­pori oleh A.V. Dicey, seorang sarjana Inggris kenamaan. Bahkan di Amerika Serikat istilah ini dikembangkan menjadi jargon, yaitu The Rule of Law, and not of Man untuk menggam­barkan pe­ngertian bah­wa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau orang. 

Istilah The Rule of Law jelas berbeda dari istilah The Rule by Law. Dalam istilah terakhir ini, kedudukan hukum (law) digam­barkan hanya sekedar bersifat instru­mentalis atau alat, sedangkan kepemimpinan tetap berada di tangan orang atau manusia, yaitu The Rule of Man by Law. Dalam pengertian demikian, hukum dapat dipandang sebagai suatu kesatuan sistem yang di puncaknya terdapat pengertian mengenai hukum dasar yang tidak lain adalah konstitusi, baik dalam arti naskah tertulis ataupun dalam arti tidak tertulis. Dari sinilah kita mengenal adanya istilah consti­tutional state yang merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi modern. Karena itu, kesepakatan tentang sistem aturan sangat penting se­hingga konstitusi sendiri dapat dija­dikan pegangan tertinggi dalam memutuskan sega­la sesuatu yang harus didasarkan atas hukum. Tanpa ada konsensus semacam itu, konstitusi tidak akan berguna, karena ia akan sekedar berfungsi sebagai kertas dokumen yang mati, hanya bernilai semantik dan tidak berfungsi atau tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya. 

Kesepakatan ketiga adalah berkenaan dengan (a) ba­ngunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya; (b) hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama lain; serta (c) hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan adanya kesepa­kat­an itu, maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama ber­ke­naan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ke­tatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan negara berkonstitusi (constitutional state). Kese­pakatan-kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam doku­men konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk kurun waktu yang cukup lama. Para peran­cang dan perumus konstitusi tidak seharus­nya membayang­kan, bahkan naskah konstitusi itu akan sering diubah dalam waktu dekat. Konstitusi tidak sama dengan undang-undang yang dapat lebih mudah diubah. Karena itulah mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar memang sudah seharus­nya tidak diubah semudah mengubah undang-undang. Sudah tentu, tidak mudahnya mekanisme perubahan un­dang-undang dasar tidak boleh menyebabkan undang-undang dasar itu menjadi terlalu kaku karena tidak dapat diubah. Konstitusi juga tidak boleh disakralkan dari kemung­kinan perubahan seperti yang terjadi di masa Orde Baru. 

Keberadaan Pancasila sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam kon­teks kehidupan bernegara dalam kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka. Terminologi Pancasila sebagai ideologi terbuka sesungguhnya telah dikembangkan pada masa orde baru. Namun dalam pelaksanaannya pada masa itu lebih menunjukkan Pancasila sebagai ideologi tertutup. Pancasila menjadi alat hegemoni yang secara apriori ditentukan oleh elit kekuasaan untuk mengekang kebebasan dan melegitimasi kekuasaan. Kebenaran Pancasila pada saat itu tidak hanya mencakup cita-cita dan nilai dasar, tetapi juga meliputi kebijakan praktis operasional yang tidak dapat dipertanyakan, tetapi harus diterima dan dipatuhi oleh masyarakat. 

Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah membuka ruang membentuk kesepakatan masyarakat bagaimana mencapai cita-cita dan nilai-nilai dasar tersebut. Kesepakatan tersebut adalah kesepakat kedua dan ketiga sebagai penyangga konstitusionalisme, yaitu kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government) dan Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prose­dur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures). Kesepakatan-kesepakatan tersebut hanya mungkin dicapai jika sistem yang dikembangkan adalah sistem demokrasi. 

Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia memiliki perbedaan dengan sistem kapitalisme-liberal maupun sosialisme-komunis. Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik. Dengan demikian ideologi kita mengakui secara selaras baik kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi yang dikembangkan, bukan demokrasi politik semata seperti dalam ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem etatisme, negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga negara lainnya.Jakarta 20 September 2005.

0 Response to "IDEOLOGI, PANCASILA, DAN KONSTITUSI "

Post a Comment