Folk Culture, High Culture, Popular Culture, dan Mass Culture

Studi Sistem Budaya Indonesia memerlukan sebuah “peta” guna meletakkan kajiannya. Peta tersebut berguna untuk meletakkan konteks suatu pembicaraa. Kajian Sistem Budaya Indonesia nantinya akan mengarah pada budaya-budaya spesifik yang berkembang di seantero wilayah Indonesia. Namun, kini pun budaya Indonesia tengah mengalami perubahan. Perubahan-perubahan tersebut terjadi selaras dengan teori faktor pengaruh budaya yang telah disebut oleh Matsumoto dan Juang di bagian awal tulisan.

Peta Budaya dimaksudkan untuk memilah bahwa konsep Budaya (Culture) telah berkembang semakin canggih dan bervariasi. Budaya, jika kita pahami sebagai warisan turun-temurun nenek moyang adalah tetap ada. Namun, kini pun berkembang budaya-budaya “baru” seiring tumbuhnya inovasi teknologi dan industrialisasi di seluruh penjuru dunia, utamanya teknologi produksi massal dan perkembangan media massa.

Banyak istilah-istilah yang muncul sehubungan dengan budaya semisal : “berbudaya”, “tidak berbudaya”, “budaya tinggi”, “budaya rendah”, “folk art“, “budaya populer” (popular culture), “budaya massa” (mass culture), dan sebagainya. Tulisan kemudian dilanjutkan guna menelusuri konsep-konsep ini. Namun, untuk keperluan tulisan ini, penulis akan mempertentangkan 4 buah konsep budaya saja yaitu : (1) Folk Culture; (2) High Culture; (3) Popular Culture; dan (4) Mass Culture.

Kathy S. Stolley menyebutkan bahwa tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan. Masyarakat pasti memiliki budaya. Namun, dalam benak sejumlah orang terkadang ada pertentangan antara apa yang dimaksud dengan “budaya tinggi” (high culture) dengan “budaya rendah” (low culture). Istilah low culture ini kurang pula tepat secara etika karena berkonotasi buruk sehingga istilah yang lebih tepat adalah Popular Culture (budaya populer).

Bagi Stolley, High Culture adalah manifestasi komponen material dan non material budaya yang dikaitkan dengan elit sosial. Jadi, dapat dikatakan jika kita membicarakan mengenai budaya tinggi (high culture) asosiasi kita tertuju pada manifestasi budaya yang dilakukan kalangan elit masyarakat. Misal dari manifestasi tersebut adalah musik klasik, galeri seni, pertunjukkan opera, literatur filsafat atau ilmiah, produksi anggur, atau jamuan-jamuan makan.

Aktivitas dalam budaya tinggi tidak terbuka bagi seluruh anggota masyarakat akibat beberapa alasan. Tingginya harga tiket yang dibayarkan untuk menonton pertujukan konser musik klasik mustahil terjangkau oleh warga dengan kelas ekonomi menengah ke bawah. Demikian pula, literatur filsafat dan ilmiah, kendati banyak tersedia di toko-toko buku, tetapi kerumitas isi dan ketidakfamiliaran bahasa membuat warga awam “emoh” mengkonsumsinya. Budaya tinggi disebut elit akibat hanya segelintir individu di dalam masyarakat yang dapat mengecapnya.

Lawan dari “high culture” adalah “popular culture” (budaya populer). Budaya populer terdiri atas segala aktivitas yang tersebar luas di dalam sebuah kebudayaan, dengan daya tarik dan tersedianya akses bagi seluruh orang, dan digandrungi oleh sejumlah besar orang lintas kelas sosial. Contoh dari budaya populer ini adalah restoran fast-food (Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, Warung Tegal, Rumah Makan Padang, McDonald, komedi-komedi situasi di televisi, novel-novel best seller (Davinci Code, Malaikat dan Iblis, atau novel-novel karya Mira W.), konser musik pop dan rock, dan sejenisnya.

Dalam konteks budaya populer ini, salah satu varian konsep yang berhasil dikembangkan adalah McDonalization. Istilah McDonalization dipopulerkan oleh George Ritzer tahun 1993 lewat tulisannya The McDonalization of Society. Ritzer mendefinisikan McDonalization sebagai “ ... the process by which the principles of the fast-food restaurant are coming to dominate more and more sectors of American society as well as of the rest of the world.” Fenomena McDonalization tidak hanya berlangsung di Amerika Serikat, melainkan juga di seluruh belahan dunia lain dalam mana beroperasi franchise-franchise McDonald, Pizza Hut, Hoka-hoka Bento, dan sejenisnya, termasuk Indonesia.

Ritzer berargumentasi bahwa McDonalization tidak hanya berpusar di aspek jual-beli makanan cepat saji belaka, melainkan juga merambah ke aspek pendidikan (training pekerja, koki, manajemen penjualan), work (aturan kerja, manajemen pekerjaan harian), kesehatan (dampak makanan cepat saji atas kesehatan), travel (perjalanan dari satu franchise ke franchise lain, termasuk transportasi dan masalahnya), pemanfaatan waktu luang (pertemuan antarorang di restoran cepat saji), dieting (obesitas anak-anak, kolesterol, diabetes), politics (imperialisme ekonomi Amerika lewat salah satu MNC-nya), keluarga (pola kegiatan memasak dan keakraban keluarga di sela pengaruh restoran cepat saji), dan kegiatan-kegiatan orang lainnya di seputar “McDonald.”

Samakah budaya populer (popular culture) dengan budaya massa (mass culture) ? Pertama-tama akan kita bahas terlebih dahulu masalah budaya populer. Marcel Danesi dalam bukunya Popular Culture : Introductory Perspective menyatakan bahwa konsep budaya populer muncul di Amerika Serikat sejak 1950-an tatkala negara tersebut diterpa oleh “wabah” hippie, disco, punk, hip-hop, dan sejenisnya. Sama seperti Stolley, Danesi mengkontraskan pemahaman tentang Budaya Populer dengan High Culture (budaya tinggi) dengan sebelumnya membuat peringkat budaya (levels of culture). Budaya populer adalah budaya yang meminimalkan sekat perbedaan kelas sosial, edukasi, atau variabel masyarakat lainnya yang membatasi kesempatan orang dalam mempraktekkan suatu budaya.

Seorang sosiolog yang termasuk paling awal mempermasalahkan konsep popular culture dan mass culture ini adalah Dwight Macdonald dalam tulisannya Masscult & Midcult yang terbit tahun 1960. Macdonald melihat terdapat 4 kategori budaya yaitu folk culture, mass culture (popular culture), midcult, dan high culture. Selanjutnya, Macdonald menulis :



Up to then, there was only High Culture and Folk Art. To some extent, Masscult is a continuation of Folk Art, but the differences are more striking than te similarities. Folk Art grew mainly from below, an autochthonous product shaped by the people to fit their own needs, even though it often took its cue from High Culture. Masscult comes from above. It is fabricated by technicians hired by businessmen. They try this and try that and if something clicks at the box office, they try to cash in with similar products .... Folk Art was the people’s own institution, their private little kitchen-garden walled off from the great formal park of their masters. But Masscult breaks down the wall, integrating te masses into a debased form of High Culture and tus becoming an instrument of domination. If one had no other data to go on. Masscult would expose capitalism as a class society rather than the harmonious commonwealth that in election year, both parties tell us it is ...


Dalam hal ini, Macdonald mempersamakan antara Popular Culture dengan Mass Culture. Namun, pandangan ini belum-lah fixed oleh sebab pada perkembangan selanjut, bermunculan tulisan-tulisan yang mengkrisinya.

Popular Culture tidaklah identik dengan Mass Culture, kendati Mass Culture dapat “menghegemoni” popular culture menjadi sekadar komoditas dagangan. Lewat pendapat Macdonald yang dicuplik di atas, Mass Culture adalah dirancang dari “atas” oleh kaum bisnis-industrialis yang mengkomersialisasi budaya ----baik folk culture, high culture--- guna menghasilkan uang dan dapat dipasarkan secara luas.

Salah satu penafsiran atas tulisan Macdonald salah satunya dibuat oleh Dominic Strinati. Strinati membahas konsep popular culture dan mass culture sebagai berikut :



... we can say that mass culture refers to popular culture which is produced by the industrial techniques of mass production, and marketed for profit to a mass public of consumers. It is commercial culture, mass produced for a mass market. Its growth means there is less room for any culture which cannot make money, and which cannot be mass produced for a mass market, such as art and folk culture. This also indicated how mass culture theory can be understood as a response to the industrialisation and commercialisation of popular culture ....


Dari pendapat Strinati di atas, ternyata popular culture dan mass culture adalah 2 entitas yang berbeda.

Seperti telah diungkap Stolley di bagian awal tulisan, popular culture merupakan lawan dari High Culture yang elitis. Peluang komersialisasi High Culture adalah lebih kecil tinimbang popular culture. Sebab itu kaum bisnis-industrialis lebih melirik komersialisasi popular culture karena pendukung dan penikmat budaya ini jauh lebih besar dan luas melintasi segala sekat sosial.

Tiba kini kita berpindah ke pendapat dari John G. Nachbar. Nachbar mendefinisikan popular culture sebagai berikut :



If we combine our previous definition of “popular” with the camera’s view of “culture” then we have a “popular culture” which refers to “the products of human work and thought which are (or have been) accepted and approved of by a large community of population.” This definition ignores notions of “quality” in the culture ... Popular culture forms the vast majority of the artifacts and events which compose our daily lives but it does no consist of our entire culture.


Nachbar and Klause kemudian menjelaskan ke konsep budaya yang telah disebut oleh Macdonald sebagai Folk Culture. Menurut keduanya, folk culture :



“ ... refers to the products of human work and thought (culture) that have developed within a limited community and that are communicated directly from generation to generation, between “folk” who are familiar to each other. The means of communication usually oral, the “author” or “creator” of the artifact of event is often unknown ... and is typically simple both thematically and technologically.


Kita bicara soal folk culture tatkala membahas resep kue dari nenek, bagaimana merawat bayi dengan “membedong”, menaruh gunting dan bangle di bawah bantal bayi (termasuk sapu lidi), dan sejenisnya. Folk culture berkembang turun-temurun hampir tanpa nuansa komersialisasi.

Selain folk culture, Nachbar dan Klause juga bicara tentang High Culture yang mereka sebut sebagai “Elite Culture”. Menurut keduanya High Culture adalah :



“ ... refers to the products of human work and thought produced by and for a limited number of people who haave specialized interest, training or knowledge ... The elite artist is known by the audience, and his identity is vital to understanding and appreciating his work –the artist is using his art to express his unique interpretaion of the world (of society of all of reality) and the more we know about him the more meaningful his work becomes ...


Selanjutnya, Nachbar and Klause mempresentasikan taksonomi yang membedakan antara Popular Culture, Folk Culture, dan High Culture :


Dari pandangan di atas, tampak bahwa popular culture adalah konsep budaya yang paling potensial untuk menjadi Mass Culture (budaya massa). Sebab itu, banyak penulis kerap melakukan pergantian kata “mass” dengan “popular” untuk mengapresiasi perkembangan budaya-budaya kontemporer. Tatkala kita bicara tentang produk-produk mass culture, maka sesungguhnya kita bicara tentang popular culture yang dieksploitasi dan dikomersialisasi.
Konsep-konsep Budaya dan Sistem Budaya Indonesia
Jelaslah bahwa kajian sistem budaya Indonesia berlangsung dalam aras Folk Culture. Telah umum diketahui, bahwa budaya Indonesia tumbuh di wilayah-wilayah yang tersekat oleh perairan dan pegunungan. Bangsa Indonesia “terkotak-kotak” dalam sekat-sekat lingkungan sehingga masing-masing mengembangkan budaya mereka sendiri yang berbeda satu sama lain. Pengakuan perbedaan ini ada dalam slogan Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda tetapi tetap satu jua.

Budaya di masing-masing wilayah Indonesia bertahan secara turun-temurun. Dari orang tua kepada anak, yang bahkan diperkuat dengan pembentukan dewan-dewan budaya daerah. Namun, berkembangnya ekonomi kapitalis lewat proses industrialisasi dan peralihan dari masyarakat agrikultural ke arah masyarakat industri, membuat folk-folk culture tersebut menghadapi persaingan. Audiens dari suatu folk culture Indonesia adalah warga primordial wilayah. Misalnya, mereka yang mempraktekkan tari pendet biasanya adalah orang Bali karena unsur-unsur di dalam Tari Pendet kental nuansa ajaran dan tatakrama Bali.

Namun, kini audiens dari Tari Pendet memiliki pilihan akibat berkembangnya teknologi media massa. Audiens Tari Pendet kemungkin mengalihkan perhatiannya menganut seni pop, rock, ataupun disco yang disebar lewat media. Tari Pendet kehilangan daya tarik dan kemudian menjadi sekadar High Culture karena kerumitan berpakaian dan gerakan tinimbang musik rock, disco atau pop. Terlebih, musik rock, disco, dan pop didukung oleh industrialis rekaman yang menyebarkan VCD/DVD musik-musik tersebut dengan harga murah (karena bajakan biasanya). Akibatnya, pemuda-pemudi Bali lebih paham musik-musik “mass culture” tersebut tinimbang Tari Pendet yang asli Bali sendiri.

Sebab itu, kajian sistem budaya Indonesia selain yang terpokok mengeksplorasi folk culture di Indonesia, juga akan membahas aneka budaya populer yang mengalami massifikasi menjadi mass culture yang pelan tetapi pasti menghegemoni folk-folk culture di Indonesia.



0 Response to "Folk Culture, High Culture, Popular Culture, dan Mass Culture "

Post a Comment