Komponen-komponen Budaya

Budaya masyarakat satu berbeda dengan budaya masyarakat lainnya. Sebab itu budaya sangat bervariasi bergantung pada serangkaian faktor yang mempengaruhinya seperti dijelaskan Matsumoto dan Juang di atas. Namun, kendati satu sama lain berbeda, budaya memiliki serangkaian komponen yang terdapat di setiap jenis kebudayaan. Kita bisa secara mudah mengenali suatu budaya lewat manifestasi dari komponen-komponen ini.

Komponen-komponen tersebut terdiri atas komponen Material dan Normaterial. Komponen nonmaterial misalnya adalah: (1) Simbol; (2) Bahasa; (3) Nilai; dan (4) Norma. Sementara komponen Material budaya adalah : (1) Perkakas; (2) Makanan; (3) Pakaian; (4) Arsitektur.


Simbol



Simbol adalah segala sesuatu yang mewakili makna suatu lainnya. Budaya mustahil eksis tanpa simbol karena dengan begitu para anggota masyarakat tidak bisa saling berbagi makna. Simbol dapat menciptakan loyalitas, kegairahan, cinta, dan benci. Simbol mampu mengkomunikasikan obyek abstrak ke dalam suatu yang visible atau bisa dicerap panca indera. Misalnya bendera adalah simbol nasionalisme, patriotisme, semangat partai, atau komunitas keagamaan. Misal simbol lainnya adalah merpati (damai), cinta (hati), atau letter P (boleh parkir). Suatu gambar yang sederhana, mudah dimengerti, tetapi memiliki penafsiran yang sangat luas.

Manifestasi simbol lain termasuk pakaian. Dapat kita lihat misalnya baret prajurit angkatan laut berbeda dengan angkatan darat, termasuk warna dan pernak-pernik lainnya. Dengan menggunakan seragam tertentu, yang menggunakan secara mudah langsung dapat diidentifikasi asal-usul komunitasnya. Budaya masyarakat apapun dapat secara mudah diidentifikasi lewat simbol-simbolnya.
Bahasa


Bahasa adalah seperangkat simbol yang mengekspresikan gagasan dan memungkinkan orang untuk berpikir dan berkomunikasi satu sama lain. Bahasa terdiri atas bahasa verbal dan bahasa nonverbal (tulisan, gerak-gerik). Bahasa ini juga dimiliki oleh hewan dan kelompoknya semisal suara, sentuhan, penciuman, dan gerak-gerik guna berkomunikasi satu sama lain. Namun, bahasa hewan berlangsung secara “fix meaning” atau makna yang tetap dan turun-temurun tanpa perubahan. Sementara beda manusia adalah mampu memanipulasi simbol-simbol secara lebih rumit.
Nilai


Nilai adalah gagasan tentang apa yang baik, adil, layak, atau benar. Nilai dalam budaya masyarakat yang satu cenderung berbeda dengan nilai dalam masyarakat yang lain. Nilai berfungsi selaku pengatur agar individu-individu di dalam suatu masyarakat saling bekerja sama guna mencapai tujuan masyarakat secara keseluruhan. Atau, nilai memainkan peran penting akibat ia merupakan representasi kognitif (pengetahuan) seputar hasrat dan kebutuhan individual di satu sisi dengan tuntutan masyarakat di sisi lain. Nilai budaya yang membuat masyarakat satu berbeda dengan masyarakat lain seputar isu-isu hukuman mati, pernikahan sesama jenis, aborsi, euthanasia, penodaan agama, prostitusi, konsumsi alkohol, dan sejenisnya.

Lebih lanjut, nilai merupakan suatu konsep yang luas dan multidefinisi. Sebab itu, kini akan dirangkum beberapa pengertian nilai sebagai berikut :



1. Nilai adalah keyakinan. Namun, nilai bukanlah tujuan atau gagasan yang kaku. Lebih dari itu, tatkala nilai telah diaktifkan ia kemudian dipengaruhi oleh perasaan.



2. Nilai mengacu pada tujuan yang diinginkan (misalnya kesetaraan) dan tata cara bagaimana mencapai tujuan tersebut (misalnya saling bantu, fairplay).



3. Nilai mentransendensikan situasi dan tindakan tertentu. Kepatuhan, misalnya, adalah relevan tatkala ada di tempat kerja atau sekolah, ataupun keluarga.

4. Nilai memberikan standar guna mengarahkan pilihan atau evaluasi atas perilaku, orang, atau peristiwa.



5. Nilai diurutkan dari yang relatif penting dan seterusnya. Urutan perangkat nilai ini kemudian membentuk sistem prioritas nilai. Budaya dan individu dikarakteristikkan oleh sistem prioritas nilainya.



Salah satu kajian menarik diberikan Shalom H. Schwartz mengenai nilai-nilai yang bersifat lintas budaya. Nilai-nilai yang yang dipergunakan tampak pada diagram di bawah ini :



Keterangan:



1. Universalism : “pemahaman, apresiasi, toleransi, dan perlindungan bagi kesejahteraan untuk orang ataupun lingkungan.”



2. Benevolence : “preservasi dan penguatan kesejahteraan orang lain dengan mana ini dilakukan dalam aneka kontak personal.”



3. Conformity: “pengendali tindakan-tindakan, inklinasi, dan impuls yang mampu mengecewakan atau membuat marah orang lain serta melanggar ekspektasi (harapan) sosial atau norma.”



4. Tradition : “respek, komitmen, dan penerimaan atas kebiasaan serta gagasan bahwa suatu budaya atau agama berhak mengatur individu.”



5. Security: “keamanan, harmoni, dan stabilitas yang berhubungan dengan masyarakat, hubungan antarindividu, dan kedirian.”



6. Power: “penguasaan status sosial dan prestise, serta kendali atau dominasi atas orang maupun sumber daya.”



7. Achievement: “keberhasilan personal lewat unjuk kompetensi menurut suatu standar sosial.”



8. Hedonism: “kesenangan atau pemberian sensasi bagi diri sendiri.”



9. Stimulation: “daya tarik, novelty, dan tantangan dalam hidup.”



10. Self-direction: “pikiran dan tindakan bebas dalam memilih, mengkreasi, dan menjelajah.”



Pertama, menurut Schwartz, di setiap kebudayaan nilai-nilai individual terletak di sepanjang dimensi “self-enhancement” hingga “self-transcendence.” Dimensi-dimensi ini merefleksikan penjarakan antara nilai yang diorientasikan pada pengejaran self-interest (kepentingan pribadi) dan nilai yang diorientasikan demi kesejahteraan orang lain.

Kedua, dimensi-dimensi mengkontraskan “openess to change” (keterbukaan untuk berubah) dengan “conservation” (kecenderungan memelihara yang ada). Openess to change adalah apa yang memotivasi orang untuk mengejar kepentingan emosional dan intelektual dalam jalur-jalur yang tidak menentu dan tidak bisa dipastikan. Sementara conservation adalah kecenderungan memelihara status quo (kondisi saat ini) dan kemenentuan yang disediakan oleh status quo dalam berhubungan secara erat dengan individu, organisi, dan tradisi lain.

Temuan yang dihasilkan Schwartz misalnya, bangsa-bangsa di Asia Timur lebih menekankan pada nilai hirarki dan konservatisme. Bangsa-bangsa Eropa lebih menekankan pada otonomi individual dan egalitarianisme. Bangsa-bangsa yang bermoyang Anglo-Saxon (Inggris, Amerika Serikat, Australia) jatuh di antara ekstrimitas berikut: pada satu sisi menekankan pada penguasaan dan otonomi tetapi juga hirarki dalam mana ini bisa menjelaskan besarnya toleransi orang-orang Anglo-Saxon akan perbedaan penghasilan di negara semisal Amerika Serikat.
Norma


Nilai menyediakan gagasan atau keyakinan tentang suatu perilaku, tetapi tidak menyatakan secara tegas bagaimana kita harus berperilaku. Norma, di sisi lain, punya fungsi seputar bagaimana satu individu harus berperilaku. Norma adalah aturan-aturan mapan tentang standar perilaku atau standar bertindak. Norma terdiri atas Prescriptive Norm dan Proscriptive Norm.

Prescriptive Norm mengatur perilaku apa saja yang dianggap memang semestinya dan diterima. Contoh, orang yang berhasil menghasilkan sejumlah uang diharapkan menghitung pajak dan membayarkannya. Norma-norma yang didasarkan pada kebiasaan mengharuskan kita segera membantu membukakan pintu bagi orang yang membawa beban berat.

Proscriptive Norm menyatakan apa perilaku yang tidak semestinya atau tidak diterima. Hukum yang melarang kita untuk tidak melampaui batas kecepatan mengemudi atau menyatakan tidak pantas berbicara di telepon genggam tatkala tengah belajar di kelas. Baik norma preskriptif maupun proskriptif beroperasi di setiap tingkatan masyarakat, baik dalam tindakan sehari-hari ataupun formulasi undang-undang di tingkat parlemen.

Tingkat pentingnya norma-norma yang ada tidak pula selalu sama. Norma-norma yang dianggap penting dikodifikasi masyarakat secara tertulis (written). Sebab itu, menurut tingkat pentingnya, norma terbagi atas : Norma Formal dan Norma Informal.

Norma Formal adalah norma yang dikodifikasi dalam kitab hukum resmi serta melibatkan sanksi tertentu bagi pelanggarnya. Hukum dan undang-undang adalah jenis umum dari Norma Tertulis ini. Sanksi adalah ganjaran bagi perilaku yang selaras keinginan masyarakat atau hukuman bagi perilaku yang melanggarnya. Sanksi terdiri atas Sanksi Positif dan Sanksi Negatif. Contoh sanksi positif adalah pujian, penghormatan, atau medali bagi konformitas atas suatu norma. Sementara Sanksi Negatif berkisar dari ketidaksetujuan yang halus hingga hukuman mati.

Norma Informal adalah norma yang dianggap tidak terlalu penting, bersifat tidak tertulis, dan merupakan standar perilaku yang dipahami orang-orang yang saling berbagi identitas yang sama. Tatkala seseorang melanggar norma informal, orang lain kemungkinan hanya akan menimpakan sanksi informal. Misalnya, seseorang yang lupa bersalaman di dalam komunitas yang biasa bersalaman tatkala bertemu, seorang yang buang angin di dalam ruangan hening dan penuh, membiarkan wanita hamil berdiri sementara seorang lelaki perkasa asik duduk terkantuk-kantuk dalam bis yang penuh sesak, dan seterusnya dan seterusnya.

Folkways adalah norma informal atau kebiasaan sehari-hari yang mungkin dilanggar tanpa konsekuensi serius dalam satu budaya tertentu. Folkways menyediakan aturan untuk bertindak tetapi tidak dianggap esensial bagi kelangsungan hidup suatu masyarakat. Di Amerika Serikat, folkways termasuk menggunakan deodoran untuk mencegah bau ketiak, menyikat gigi agar tidak kuning dan bau, serta menggunakan pakaian yang semestinya bagi suatu acara. Folkways tidak berusaha ditegakkan secara serius oleh masyarakat, tatkala terjadi pelanggaran (misalnya bau ketiak seseorang yang menyebar di suatu ruangan), sanksi yang diberikan adalah halus semisal menghindari bicara, menunjukkan gerak-gerik “tidak betah” dan sejenisnya dan sejenisnya. Termasuk ke dalam folkways adalah kebiasaan mengetuk pintu sebelum masuk ke suatu ruangan.

Mores adalah norma yang dianggap lebih tinggi dan penting bagi stabilitas suatu masyarakat. Mores adalah suatu budaya tertentu yang diidentikan dengan masalah moral dan etika yang pelanggarnya akan menghadapi sanksi yang cukup serius. Mores dibangun berdasar nilai-nilai budaya suatu masyarakat, pelanggarnya menghadapi Sanksi Negatif yang cukup keras semisal pemecatan dan pemenjaraan. Masuk ke dalam kategori Mores ini adalah Tabu. Tabu adalah Mores yang sangat kuat yang pelanggarnya dianggap melakukan penyerangan dan tidak boleh dibicarakan. Pelanggaran Tabu menghadapi hukuman tidak hanya oleh masyarakat tetapi juga, pada budaya tertentu, oleh kekuatan Supernatural. Misal dari Tabu ini adalah inses (perkawinan sedarah) dan cukup bersifat universal.

Law (hukum) adalah norma formal yang distandardisasi serta dibuat oleh legislatif suatu masyarakat dan dijalankan dengan sanksi-sanksi formal. Hukum terdiri atas hukum perdata dan hukum pidana. Hukum perdata bicara tentang pertikaian orang atau antar kelompok. Sanksi bagi hukum perdata biasanya adalah pembayaran denda kepada pihak pemenang pertikaian. Sebaliknya hukum pidana bicara tentang keamanan dan kehidupan masyarakat. Tatkala hukum pidana dilanggar, denda, penjara, dan hukuman mati biasanya merupakan Sanksi Negatifnya.

0 Response to "Komponen-komponen Budaya "

Post a Comment