Sejarah Lahirnya Hukum Pancung

Sejarah Hukum Pancung.Hukum pancung merupakan hukum yang cara pelaksanaannya dengan memotong atau menebas leher orang yang terpidana mati. Hukum pancung di kampung (huta) Siallagan dibuat oleh Raja Laga Siallagan beserta masyarakat Siallagan pada zaman dahulu secara musyawarah.awal hukum pancung dibuat masyarakat masih menyakini berbagai aliran kepercayaan  dimana pada saat itu  masyarakat masih menganutagama Sipelebegu, agama Mulajadinabolon, dan agama ParmalimUgamo (agama)Parmalim. Wawancara dengan Bapak Pahala Sinaga (tanggal 7 nopember  2015, 09:30)
“Raja Laga Siallagan membuat hukum adat pancung di huta Siallagan sekitar tahun 1715 bersama dengan raja-raja huta Siallagan martonggo untuk mebuat hukum adat pancung.Martonggo merupakan bahasa batak zaman dahulu ugamo parmalim yang dalam arti marrapot (rapat)”.

Dalam kehidupan Batak pada zaman dahulu orang Batak sangat banyak memiliki ilmu hitam atau pertahanan badan mereka yang didapat dari bertapa ataupun yang diturunkan dari nenekmonyangnya maupun ayahnya. Masyarakat memliki ilmu hitam tersebut yaitu untuk mencegah cobaan-cobaan yang sengaja dibuat oleh musuh ataupun  dari kampung lain, oleh karena itu tidak heran jika setiap orang itu mempunyai ilmu hitam masing-masing.

Ilmu hitam yang dimiliki setiap orang kegunaannya sangat bermacam-macam seperti ilmu kekebalan tubuh, ilmu untuk santet, ilmu kesaktian dan masih bayak ilmu lainnya.Dalam kehidupan masyarakat kampung Siallagan pada masa lalu masyarakat selalu ada timbul rasa cemburu terhadap kehidupan sekitarnya baik dari kesejahteraan, harga diri, dan kekanyaan seseorang.Kehidupan masyarakat yang egois juga menjadikan tatanan dalam lingkungan kampung Siallagan menjadi tidak baik.Akibat dari rasa kecemburuan masyarakat maka tidak jarang terjadi perkelahian yang timbul sewaktu-waktu.Perkelahian tersebut bisa terjadi keluarga yang masih dekat atau keluarga yang masih satu keturunan.Sikap masyarakat sangat sulit dikontrol karena dengan mudahnya seseorang tersebut untuk berbuat apapun untuk mencelakai oaring yang tidak disukainya atau musuhnya.

Maka dalam suatu perkelahin tersebut masyarakat menggunakan kekuatan yang dia miliki untuk memenangkan konflik tersebut karena jika seseorang kalah maka harga dirinya akan turun. Untuk mencegah hal tersebut maka mereka saling adu kekuatan demi menjaga nama baik dia dan keluarganya. Bapak Pahala Sinaga (wawancara tanggal 7 nopemberl 2015) meyebutkan bahwa:

“Orang Batak dulu tidak jarang dijumpai yang namanya gana-gana, parmanison, gadam, perbegu ganjang dan ilmu hitam lainnya yang didapat dari oppungnya dan margurutu tombak/hutan.Kehidupan yang masih primitif menjadikan setiap wilayah dan tempat terlihat angker. Ladang penduduk juga tidak bisa asal-asal di masuki, mengambil atau mencuri dari ladang tersebut karena ladang-ladang penduduk di jaga oleh makhluk halus peliharaan yang punya ladang atau digadam (jika memegang atau mengambil maka akan berakibat bagi yang memegang atau yang mengambilnya)”jadi dalam kehidupan Batak zaman dulu mereka selalu menggunakan yang namanya ilmu hitam baik dalam lingkungan masyarakat dan juga untuk menjaga kebun mereka.

Hukum adat pancung tersebut yaitu hukum pancung yang merupakan hukuman dengan memotong kepala sesorang terdakwa diatas meja batu.Ide Raja Laga Siallagan tersebut dapat diterima oleh raja-raja yang ikut serta dalam rapat tersebut mengingat sudah banyaknya korban yang jatuh akibat sikap masyarakat yang menggunakan kekuatan ilmu hitamnya dengan sesuka hati.Maka dengan keputusan yang dibuat oleh raja Laga Siallagan raja-raja tersebut menyetujuinya untuk diterapkan dalam lingkungan masyarakat huta atau kampung Siallagan. Bapak Pahala Sinaga (wawancara tanggal 7 nopember 2015) menyebutkan bahwa :
Uhum atau hukum pancung merupakan hukum yang sangat adil bagi sipelaku tindak kejahatan pada zaman dulu.cara penghukumannya memotong kepala yang dihukum menggunakan pisau galewang (pisau yang panjang dan tajam) di atas meja batu dengan sekali tebas.Biasanya yang memegang pisau tersebut yaitu ulabalang huta atau kampung.Ulubalang tersebut adalah orang yang dianggap mempunyai tenaga yang kuatdan ilmu hitam yang kuat juga.karena ulubalanglah yang bertugas untuk mejaga keamanan suatu kampung. Ulubalang tersebut hamper sama dengan pangulubalang. Perbedaannya adalah ulu balang merupakan manusia, sedangkan pangulubalang adalah benda yang menyerupai manusia ataupun hewan yang dimana mempunyai kekuatan juga untuk menjaga suatu rumah maupun suatu huta. Setiap orang yang mendengar dengan yang namanya hukum pancung secara otomatisorang tersebut akan merinding.
Bapak Pahala Sinaga selaku kepala dusun III sekaligus pemandu wisata di Desa Siallagan Pindaraya menjelaskan bahwa sejak tahun 1715 hukum adat pancung dimulai dengan membuat tempat dan peralatan yang diperlukan dalam melakukan hukum adat pancung seperti batu meja dan kursi parsidangan tepat berada di depan rumah raja Laga Siallagan dibawah pohon Hariara (pohon kehidupan), tempat pemasungan, meja batu penyiksaan, meja batu pemancungan beserta kursi raja-raja, dan tempat duduk untuk warga yang ikut dalam penyaksian hukum adat pancung tersebut.Tempat untuk parsiadangan dan pemancungan berada dua lokasi.Lokasi untuk parsidangan yaitu di halaman rumah Raja Laga Siallagan.Sedangakan lokasi untuk pemancungan yaitu jalan menuju pintu keluar Kampung Siallagan yang berjarak kira-kira duapuluh meter dari tempat meja parsidangan.

2.Pelaksanaan Hukum Pancung
Hukum adat pancung merupakan salah satu hukum yang paling ditakuti oleh masyarakat huta atau kampung Siallagan.Dalam menghukum sesorang yang melakukan kesalahan tidak dengan sembarangan dan main hakim sendiri untuk menghukumnya, karena semuanya ada aturan masing-masing. Seseorang yang akan dihukum harus melalui atau persidangan (parsidangan) oleh raja-raja huta atau kampung. Dengan tidak main hak sendiri untuk memutuskan hukuman bagi siterdakwa yang melakukan kesalahan ataupun yang melanggar norma adat.
 “Orang yang biasanya di hukum pancung yaitu orang yang melakukan kesalahan dengan kelewatan atau keterlaluan, seperti membunuh, memerkosa, dan menghianat. Dengan melalui persidangan seseorang tersebut akan di pancungsesuai dengan  waktu atau hari yang tepat menurut kelender Batak Toba zaman dahulu”.
Orang yang melakukan kesalahan tidak langsung dihukum begitu saja.Kesalahantersebut dilihat dari pelanggaran yang dia lakukan.Dan dalam penghukuman raja selalu berpatokan terhadap kelender Batak Toba. Setelah tiba waktunya siterdakwa akan di laksanakan ritual pemancungan.
Seseorang yang akan dihukum terlebih dahulu dilihat dari besar kecilnya kesalahan yang dia lakukan. Bukti-bukti kesalahan orang tersebut harus ada dengan lengkapsesuai dengan yang terjadi atau yang dia perbuat.Setelah dipastikan kesalahan yang diperbuat maka hukuman akan dijatuhkan sewaktu dia disidangkan dihadapan raja-raja huta atau kampung beserta masyarakat yang ikut diundang dalam acara persidangan tersebut. Setelah melalui proses investigasi dan interogasi kepada terdakwa, maka para pengetua adat dan raja dari huta tetangga memberikan usul jenis hukuman yang harus diberikan kepada terdakwa dan oleh Raja Siallagan (dikenal sebagai raja yang adil dan tegas) ditetapkan menurut peraturan “kerajaan” Siallagan yakni hukuman denda, hukum penjara (dihukum pasung) dan hukum mati (hukum pancung/dibunuh) tergantung derajat kesalahannya.
Dalam aturan hukum adat kampung Siallagan tiap orang yang melakukan kesalahan-kesalahan ringan maka si terdakwa akan di pasung untuk beberapa hari atau minggu, jika seseorang tersebut mencuri maka dia akan disuruh mengganti rugi terhadap apa yang dia curi dan jika dia tidak sanggup mengganti rugi maka dia akan di jadikan Hatoban atau budak untuk si korban yang dia maling tersebut dengan waktu yang ditentukan kedua belah pihak disaat persidangan. jika seseorang tersebut membunuh, memerkosa atau menghianat maka dia akan dihukum pancung. Mengingat kesalahan tersebut merupakan suatu kesalahan yang dianggap tidak bisa diampuni.
Penjatuhan hukuman pancung kepada sipelaku kejahatan terlebih dahulu dengan melalui parsidangan raja-raja kampung.Tidak seenaknya raja dalam memutuskan hukuman terhadap siterdakwa, dengan di saksikan dan disetujui raja-raja huta atau kampung maka siterdakwa dengan positif dihukum pancung. Sebelum sipelaku kejahatandihukum pancung raja-raja hutaatau kampung akan melihat hari yang baik untuk pemancungan sesuai dengan kelender Batak Toba. Setiap kegiatan yang akan dilakukan orang Batak pada masa itu selalu berpatokan dengan kelender Batak Toba. Kelender Batak Toba merupakan kalender yang dibuat oleh nenek monyang pada zaman dahulu.Kalender tersebut tidak jauh berbeda dengan kalender pada masa sekarang yaitu jumlah bulan berjumlah dua belas belan.Perbedaan kalender tersebut yaitu kalender Batak zaman dulu setiap hari dan minggunya mempunyai keterangan masing-masing dengan lengkap.Apakah hari tersebut baik atau hari tidak baik dalam melakukan sesuatu pekerjaan atau acara adat.Sedangkan kalender sekarang tidak mempunyai keterangan hari baik atau hari buruk setiap harinya seperti kelender batak pada zaman dulu.
Setelah tiba waktunya sesuai dengan hari yang sudah di tentukan si terdakwa dibawa kemeja eksekusi  dan  dilakukan ritual sebelum pemancungan. Ritual yang dilaksanakan tersebut yaitu sang terdakwa diberikan makan yang terakhir yang telah disediakan oleh keluarga maupun masyarakat lain. Makanan tersebut diletakkan di meja batu disebelah meja penyiksaan. Setelah itu raja menanyakan apa permintaan terakhir siterdakwa.Kemudian semua pakaian siterdakwa dibuka dan untuk memastikan bahwa siterdakwa bersih dari ilmu-ilmu hitam maka tubuhnyaakan disayat-sayat lalu di tetesi dengan air asam atau jeruk purut.
Jika sipelaku kejahatan tidak merasa kesakitan sewaktu tubuhnya di sayat dan ditetesi air asam atau jeruk purut berarti siterdakwa masih mempunyai ilmu hitam. Isi perut siterdakwa akan di keluarkan sampai siterdakwa bersih dari ilmu hitam. Namun jika siterdakwa merasa kesakitan berarti dia sudah bersih dari ilmu-ilmu hitam.Maka pemancungan sudah siap dilaksanakan oleh algojo atau orang kepercayaan raja.Selanjutnya tubuh sang penjahat diangkat dan diletakkan ke atas batu pancungan telungkup dengan posisi leher persis berada disisi batu, sehingga kelak bila dilakukan eksekusi, sekali tebas kepala terpisah dari tubuhnya. Jika pada saat dipancung kepala siterdakwa tidak pisah sekali tebas maka sipemenggal juga akan dipancung.
Hal tersebut dilakukan karena sudah dianggap penyiksaan jika dalam pemancungan kepala sang terdakwa tidak pisah dari tubuhnya. Oleh karena itu dalam aturan yang telah dibuat maka sipemancung akan dipancung juga.Selanjutnya Sang Datu, dengan membacakan mantra-mantra kemudian mengambil pedang yang sudah tersedia, dengan sekali tebas, kepala penjahat dipenggal hingga terpisah dari tubuhnya. Untuk mengetahui apakah benar penjahat sudah mati, sang Datu kemudian menancapkan kayu “Tunggal Panaluan” ke jantung penjahat, lalu jantung dan hati dikeluarkan dari tubuh penjahat dan darahnya ditampung dengan cawan. Hati dan jantung penjahat dicincang dan kemudian dimakan oleh Raja dan semua yang hadir, darahnya juga diminum bersama.
Setelah siterdakwa dipancung maka darahnya akan ditampung kedalam cawan atau tempat lainnya. Darah tersebut akan diminum oleh raja-raja dan juga masyarakat yang ikut dalam acara pemancungan tersebut. Bagian dalam tubuh seperti jantung dan hati juga akan dimakan untuk menambah kekuatan ilmu hitam. Kepala orang yang dipancung tersebut akan dipajang di samping pintu masuk Huta atau kampung Siallagan selama satu hari kemudian kepala tersebut akan dibuang ke hutan atau tempat yang tidak dilewati manusia.
Makna kepala tersebut dipajang di samping pintu masuk Huta atau kampung Siallagan adalah untuk menandakan bahwa pada hari itu telah dilakukan hukum pancung. Tubuh yang sudah dipancung tersebut akan dibuang ke Danau Toba dan Sang Raja biasanya akan memerintahkan agar masyarakat tidak menyentuh air Danau selama satu hingga dua minggu karena air Danau dianggap masih berisi roh jahat.

3.Tujuan Pelaksanaan Hukum Pancung
Raja Laga Siallagan membuat hukum adat pancung karena dia melihat rakyatnya hidup seperti tidak mempunyai pemimpin yang dimana warganya sering terjadi konflik tanpa ada lasan yang jelas sehingga raja membuat hukum adat pancung di kampung Siallagan agar rakyatnya hidup aman dan damai.Dalam pembuatan hukum tersebut bukanlah dengan sesuka hati Raja, namun dengan pertimbangan-pertimbangan yang telah di setujui bersama raja-raja Huta atau kampung.Dengan sikap bijak raja Laga Siallagan maka hukum tersebut bisa tercipta dan di terapkan dalam lingkungan masyarakat kampung Siallagan. Wawancara dengan Bapak Pahala Sinaga 7 nopember 2015:
“Raja Laga Siallagan membuat hukum adat pancung karena situasi pada masa kerajaanya banyak terjadi konflik antar warganya dan penghianatan terhadap Raja, pada saat itu masih mempercayai pada makhluk halus dan kepada Debata Mulajadi Nabolon.Setelah adanya hukum pancung tersebut maka masyarakat tidak berani lagi untuk melakukan pertengkaran atau saling menyakiti maupun membunuh melalui ilmu hitam yang dia punya. Dulu pertengkaran mewarnai hari-hari masyarakat, namun setelah itu  masyarakat hidup aman dan berdampingan”.
Setelah hukum pancung di terapkan di kampung Siallagan maka ada perubahan situasi kampung.Perkelahian atau konflik yang sering terjadi setelah itu sudah jarang terjadi lagi.Masyarakat menjadi takut untuk melakukan sikap yang dapat menimbulkan konflik maupun kesalahan-kesalahan lainnya yang dapat merugikan dirinya sendiri.Setelah adanya pelaksanaan hukum pancung di kampung Siallagan maka lingkungan kampung Siallagan sangat berbeda situasinya dengan sebelum adanya hukum tersebut.Masyarakat menjadi hidup akrab dan saling membantu dalam bekerja serta taat dalam aturan adat kampung.
Perkelahian atau konflik yang biasanya terjadi berubah menjadi kedamaian yang memang diharapkan oleh raja.Seiring berjalannya waktu  masyarakat kampung Siallagan dan desa-desa di sekitarnya hidup dengan aman dan rukun. Dimana masyarakat tidak berani melanggar hukum adat dan juga terciptanya masyarakat yang beradat sesuai dengan adat habatahonUgamo parmalim (adat Batak Agama Parmalim). Hukum adat ini telah menciptakan masyarakat yang mempunyai harga diri yang tinggi, beradap, bersikap jujur, adil dan ber’Tuhan atau beragama. Walaupun hukum adat pancung tidak ada lagi di kampung Siallagan masyarakat sudah hidup dengan damai dan berdampingan.

    4.Makna Hukum Pancung Di Huta Siallagan
Menurut keterangan informasi Bapak Pahala Sinaga, Hukum adat pancung di kampungSiallagan pada masa lalu sangat adil dalam menegakkan keadilan pada lingkungan masyarakat. Dimana hukum adat tersebut secara otomatis akan mengarahkan sikap prilaku masyarakat kearah yang baik dalam melakukan segala aktifitas pekerjaan maupun budaya adat Batak di kampung Siallagan. Raja Laga Siallagan menerapkan hukuman pancung untuk keadilan bagi semua rakyat pada waktu itu sehingga dalam kegiatan budaya, Batak paling taat kepada peraturan norma yang berlaku dan tidak berani melanggar adat.
Menurut informasi Fadmin Prihatin Malau dalam surat kabar ‘WASPADA’,Keadilan tercipta setelah adanya hukum adat pancung di Huta atau kampung Siallagan karena dalam menerapkan hukum tersebut raja bersikap bijaksana dan adil sehingga dalam menegakkan hukuman tidak tajam kebawah dan tumpul keatas. Sistem hukum dalam budaya Batak Toba di kampung Siallagan diperlakukan sama terhadap semua orang dengan tidak membeda-bedakan orang yang akan dihukum tersebut. Barang siapa yang melakukan kesalahan maka dia akan dihukum sesuai dengan kesalahan yang dia perbuat.
Hukum adat masyarakat kampung Siallagan tidak memandang bulu, baik anak budak maupun anak raja semuanya sama di mata hukum. Dengan adanya hukum pancung masyarakat akan merasa terjaga dari hal jahat yang tidak diinginkan. Peristiwa tersebut secara turun temurun dari nenek moyang marga Siallagan hingga kini masih mengingat yang sudah pernah terjadi dalam pemerintahan Raja Laga Siallagan dulu tentang hukum adat pancung tersebut, karena nenek moyangnya terus menceritakan kepada keturunannya sehingga keturunan dari marga Siallagan dan juga marga lain yang ada di kampung Siallagan tersebut sangat menjaga sikap dalam beradat, bermasyarakat dan melakukan aktifitasnya.
Makna hukum adat pancung Siallagan terhadap dapat dirasakan masyarakat sampai sekarang ini, dimana hukum tersebut sebagai pengingat peristiwa yang sudah pernah terjadi terhadap orang yang melakukan kesalahan sehingga masyarakat selalu mengingat peristiwa tersebut karena cerita tersebut selalu di ceritakan ke keturunan-keturunan mereka. Dari ajaran-ajaran dan bimbingan-bimbingan nenekmonyang mereka maka sampai sekarang adat yang pekat masih terasa di Huta atau kampung Siallagan baik dari segi cara masyarakat untuk menyambut tamu dan tutur kata yang terucap sangat ramah dan sopan. Hukum adat pancung yang dahulu ada menjadikan warga Kampung Siallagan seperti dapat merasakan dan membanyangkan begitu adilnya hukum pada masa itu yang menjadikan masyarakat menghargai dan menghormati ajaran-ajaran nenekmoyang mereka.

0 Response to "Sejarah Lahirnya Hukum Pancung"

Post a Comment