Analisa Industri Farmasi Indonesia


Isu pokok bahan baku obat di Indonesia sejak dahulu kala belum berubah. Sudah sering dibahas dan dibicarakan, misalnya, sejak Dr. Harjanto Dhanutirto menjadi Menteri Negara Hortikultura sampai saat ini, dengan kecenderungan menimpakan kesalahan kepada manajemen pemerintahan Indonesia (ISFI, 1997; Kardono, 2004; Sparinga 2010). Isu pokok tersebut antara lain, lebih dari 96% impor bahan baku obat Indonesia; sebagian yang diproduksi di Indonesia di bawah lisensi teknologi luar negeri menggunakan bahan baku intermediate impor juga belum bisa bersaing, pembinaan industri kimia hulu (Kementrian Perindustrian) dan hilir (Kementrian Kesehatan) belum ada pada penguasaan teknologi yang mendorong keterkaitannya dalam klaster industri, lemahnya kelembagaan, sumber daya, jejaring ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk memperkuat inovasi, dana riset terbatas, dan regulasi belum kondusif (Sparinga, 2010). 

Naskah Akademis Analisa dan Strategi Nasional yang dilakukan oleh Ikatan Sarjana Farmasi tahun 1997, dan disampaikan kepada Menteri Negara Hortikultura dan Obat, sampai sekarang secara relatif masih belum banyak mengalami perubahan. Dalam beberapa pertemuan di dua tahun terakhir yang dilakukan oleh Kementerian Perindustrian dan Badan Koordinasi Penanaman Modal, terlihat pengembangan bahan baku obat di Indonesia belum banyak mengalami perubahan. Analisa dan Strategi Nasional yang disampaikan oleh ISFI tersebut dengan beberapa modifikasi disampaikan kembali dalam kesempatan ini, antara lain: 

Strength (Kekuatan) 

Dari sudut pandang teknik farmasi, teknologi dan kualitas obat-obatan yang diproduksi di Indonesia sangat baik. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa Good Manufacturing Practice dengan standar yang tinggi telah diterapkan di Indonesia. Proses produksi ini, sebagian besar masih padat karya dengan biaya tenaga kerja yang relatif rendah. Jumlah industri yang besar dan heterogen menyebabkan semua segmen pasar dapat memenuhi kebutuhan mereka yang sesuai dengan kemampuan masing-masing. 

Weakness (Kelemahan) 

Komponen impor obat masih sangat tinggi, mencakup 90% dari bahan baku yang digunakan (senyawa aktif dan pendukung) dan sekitar 50% dari bahan kemasan. Produksi domestik senyawa aktif relatif kecil dan tidak signifikan, harga tidak bersaing dengan harga bahan yang diimpor. Upaya swasembada substansi dasar sering tersandung pada fakta-fakta, antara lain: berbagai jenis bahan dasar digunakan oleh industri farmasi (hingga 6.000 jenis), banyak di antaranya apabila dikembangkan dalam skala produksi tidak layak secara ekonomi, masalah utama adalah dalam penyediaan bahan dasar untuk bahan baku dari produk lokal. Hal ini berkaitan dengan industri kimia dasar yang belum berkembang untuk mendukung dalam memasok bahan antara substansi dasar untuk pembuatan obat. Ketergantungan intermediate substansi dasar pada tingkat tertentu dapat mengurangi manfaat dari sintesis lokal. Koordinasi antara industri terkait tidak cukup baik, sebagai contoh, koordinasi antara industri petrokimia dan industri farmasi. Seringkali industri farmasi menghadapi kesulitan karena bahan dasar tidak dapat diproduksi secara lokal. 

Perlu dicatat bahwa dari sudut pandang lain, swasembada bisa dicapai jika nilai ekspor bahan dasar sama atau lebih besar dibandingkan dengan yang nilai impor. Dalam konteks ini, Indonesia tidak perlu untuk menghasilkan semua dari 6.000 jenis yang disebutkan di atas, seandainya memang memiliki nilai ekspor yang cukup. Jumlah industri besar (300 industri) dengan nilai pasar yang relatif kecil, sehingga pasar sangat terfragmentasi sebagai akibat dari skala ekonomi yang rendah, hal tersebut disebabkan oleh efisiensi rendah dan banyak kapasitas menganggur (idle) (ISFI, 1997). 

Industri farmasi pada dasarnya merupakan industri yang knowledge intensive dan sangat diatur, tetapi aspek regulasi industri farmasi di Indonesia cukup berat. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa kebijakan yang ada disusun lebih berdasarkan pada semangat mengendalikan daripada mengembangkan, implementasi lambat karena ketidakseimbangan antara jumlah aparat pemerintah yang melakukan kontrol dan industri swasta yang dilayani. Rantai lainnya yang merupakan bagian dari aspek pemasaran dan distribusi produk industri farmasi masih belum seimbang secara kualitatif dan kuantitatif. 
Opportunities (Kesempatan) 

Populasi Indonesia yang besar dan konsumsi obat per kapita yang rendah menunjukkan potensi untuk mengembangkan pasar. Peluang ekspor terbuka karena globalisasi dan pasar terbuka serta pelaksanaan praktek manufaktur yang baik di Indonesia. Sudah adanya kecenderungan untuk mengembangkan sistem kesehatan yang tepat dalam hal distribusi dokter yang diperlukan termasuk spesialis. Adanya integrasi MDGs sebagai bagian dari program pembangunan nasional dalam upaya menangani penyelesaian terkait dengan isu-isu yang sangat mendasar tentang pemenuhan hak asasi dan kebebasan manusia, perdamaian, keamanan, dan pembangunan. 

Threat (Ancaman) 

Persaingan Global yang terjadi di dunia telah memengaruhi banyak hal, termasuk menurunnya daya saing dan daya beli masyarakat dan industri Indonesia termasuk dalam membeli obat atau dalam penyediaan obat. Kondisi ini merupakan ancaman untuk kelangsungan hidup industri farmasi nasional, khususnya untuk pasar lokal. Salah satu dampak globalisasi adalah ratifikasi ACFTA, GATT, termasuk TRIPs, Hukum Paten, mobilitas sumber daya yang sangat tinggi dan persaingan bebas. Bagi industri farmasi PMDN dan beberapa industri farmasi tertentu, investasi asing yang digunakan mengandalkan produk mereka dengan menyalin strategi produk baru, yang masih dalam paten, kondisi semacam ini dapat dianggap sebagai ancaman. Hukum Paten dapat menjadi kesempatan bagi industri farmasi investasi dalam negeri untuk meningkatkan kinerja, tetapi industri ini belum siap, terutama dalam dukungan riset mereka. Juga dengan masih ditemukannya obat palsu yang beredar di pasaran yang menyebabkan harga obat lebih sukar untuk dikendalikan. 



Strategi Nasional dalam Mengembangkan Industri Farmasi di Indonesia 

Penelitian dan pengembangan ditentukan untuk mempertahankan dan mengembangkan industri farmasi, dan kemudian menyediakan kebutuhan obat bagi masyarakat dengan harga terjangkau. Pemerintah perlu menyediakan dana untuk rencana pengembangan indusri obat generik, alam dan obat (ISFI, 1997). Iuran dana (seed funding) untuk riset bagi industri itu sendiri bisa dikembangkan dan hasil penelitian dikembalikan ke industri. 



Strategi Jangka Panjang 

Dalam produksi domestik substansi dasar obat pengembangan bahan baku obat, telah dilakukan pemeriksaan terhadap berbagai jenis bahan dasar yang dibutuhkan oleh industri farmasi dan persyaratan yang relatif kecil terutama bagi kebutuhan lokal mereka. Oleh karena itu, pembenahan ekonomi untuk memproduksi bahan dasar lokal mencapai skala ekonomi yang jelas menjadi sangat sulit. 

Namun, dari sudut pandang sosial politik, kemampuan untuk kemandirian di bidang industri obat bahan dasar tentu akan meningkatkan stamina bangsa terutama dalam krisis seperti saat ini. Perintis produksi bahan baku lokal perlu didorong dengan memperhatikan pemilihan jenis bahan dasar dengan menggunakan kriteria yang berspektrum kebutuhan cukup lebar sehingga mempunyai kemampuan untuk investasi serta bahan dasar tersebut dapat dipasarkan, setidaknya regional, sehingga diperoleh deviden dari ekspor bahan dasar dan dapat memenuhi kebutuhan impor bahan dasar lainnya yang belum dapat diproduksi secara lokal. 

Bahan awal dari bahan dasar tersebut mudah diperoleh dan ditemukan dalam jumlah besar di Indonesia. Pemilihan bahan dasar yang dapat diproduksi melalui proses fermentasi atau bioteknologi dengan investasi lebih murah dengan ketergantungan pada produk antara industri hulu relatif kecil. Meskipun kesadaran akan pentingnya Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia yang sudah cukup tinggi, tetapi untuk itu penanganan suatu produk farmasi untuk paten harus lebih kreatif. Misalnya, menciptakan produk obat dengan kombinasi baru, suatu sistem drug delivery baru atau obat dengan bioavailability yang lebih baik. 

Disamping itu, perlu dipertahankan suasana kondusif agar secara bertahap industri farmasi Indonesia mampu menjaga orisinalitas mereka dengan melakukan penelitian di hulu. Dengan melakukan kerjasama dengan industri multinasional dalam proyek global dapat menjaga hal tersebut (ISFI, 1997, Kardono, 2004). 

Perlu diketahui bahwa meskipun anggaran riset di Indonesia jauh lebih kecil dari negara maju atau jauh lebih kecil dari negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand, namun efektivitas paten yang dihasilkan sangat baik. Hasil analisa WPO (Word Patent Office), Geneva, para peneliti Indonesia relatif sangat efisien dalam kaitannya antara paten dengan dana riset. Dengan dana penelitian sangat kecil per tahun (tidak lebih dari 10 ribu US $), para peneliti Indonesia sudah mampu menghasilkan satu paten, meskipun masih paten nasional, belum internasional (Aiman, 2010). 

Meskipun pengembangan bahan baku obat dari bahan alam secara global mengalami penurunan, tetapi pengembangan bahan baku obat dari bahan alam Indonesia mempunyai prospek yang baik. Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati dan kearifan lokal. Pemanfaatan dan pengembangannya masih terus dilakukan dan bahkan dikombinasi atau banyak dipengaruhi oleh pengembangan di negara besar lainnya, seperti Cina dan India. Saat ini di Indonesia, obat tradisional dikembangkan secara fitofarmaka, tetapi pengembangannya sangat lambat. Dalam bidang ini, standarisasi diperlukan untuk uji keamanan dan efektivitas jamu. 

Upaya holistik perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Hal ini tidak hanya dalam medium dan infrastruktur, tetapi juga sumber daya manusianya. Jumlah dokter perlu ditingkatkan untuk mencapai rasio yang ideal di Indonesia, yaitu sekitar 1:1.300. Sistem distribusi obat perlu diperbaiki, sehingga pengembangan obat-obatan dapat mencapai orang-orang di pedesaan. Kebijakan industri kimia terpadu, sehingga industri yang satu dapat membantu industri yang lain. Sebagai contoh, bahan kimia dari industri hulu mendukung industri hilir, termasuk industri farmasi. 

Dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang melimpah, dengan jumlah penduduk lebih dari 230 juta, industri jamu lebih memanfaatkan sumberdaya lokal dan pasar domestik. Namun, sampai saat ini penggunaan jamu dalam sistem kesehatan nasional belum menjadi sistem pelayanan kesehatan formal, masih bersifat toleran. Dan tahun 2009-2010 ini, Kementrian Kesehatan mencangankan Program Saintifikasi Jamu, yang ditujukan untuk lebih meningkatkan pemanfaatan jamu bagi pelayanan kesehatan. Pendekatannya memanfaatkan jamu untuk pelayanan kesehatan terlebih dahulu, sambil memperkuat dukungan ilmiahnya. Hal tersebut merupakan paradigma baru untuk saintifikasi jamu dengan pengembangan berbasis pelayanan kesehatan, tetapi karena masih bersifat penelitian, perkembangannya kemungkinan akan lambat. Dengan berlakunya ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement), Indonesia perlu khawatir terhadap perlindungan industri jamu Indonesia, dan memberikan bantuan supaya industri jamu Indonesia mampu bersaing dengan produk China atau produk negara-negara ASEAN lainnya, untuk menjaga pamornya di negeri sendiri (Kardono, 2009). 

0 Response to "Analisa Industri Farmasi Indonesia "

Post a Comment