Cara Pembuatan Larutan Dalam Medis

Dalam praktikum kali ini. Dilakukan pembuatan sediaan larutan. Larutan adalah sediaan cair yang mengandung bahan kimia terlarut, sebagai pelarut digunakan air suling kecuali dinyatakan lain. Sedangkan eliksir adalah sediaan berupa larutan yang mempunyai rasa dan bau sedap, selain obat mengandung juga zat tambahan seperti gula atau pemanis lain, zat warna, zat pewangi dan zat pengawet, dan digunakan sebagai obat dalam. (Moh. Anief, 2008) 

Zat aktif yang digunakan dalam praktikum pembuatan larutan adalah dekstrometorphan. Dan bahan tambahan yang digunakan adalah sirupus simpleks, sukrosa, metil paraben, propil paraben, sorbitol, aquadest serta etanol. 

Dalam pembuatan sediaan larutan dibuat terlebih dahulu sirupus simplex (65% sukrosa). Sukrosa yang digunakan dalam pembuatan larutan ini adalah 130 g yang dilarutkan dalam 200 ml air panas dan digunakan untuk membuat 5 sediaan. 

Dari hasil pengamatan sediaan 1 yang sudah dirata-ratakan dengan semua kelompok, didapatkan hasil yang menyatakan bahwa pada hari ke 1, 2, 3 dan 4 tidak terbentuk kristalisasi. Ini dapat disebabkan karena sediaan 1 hanya berisi dektrometorphan dan sirupus simpleks sebanyak 25 %. Dikarenakan kadar gula yang sedikit, maka tidak terjadi kristalisasi pada sediaan ini. Pada hari ke 1, 2 dan 3 tidak terlihat adanya pertumbuhan mikroba, sehingga pada pengamatan organoleptisnya tidak menunjukan data yang terlalu berbeda dengan pengamatan organoleptis pada hari ke 0. Warna yang terjadi dari hari ke 0, 1, 2, 3 (bening, jernih kekuningan, bening keruh, bening kekuningan). Begitupun dengan rasa dan bau. Karena dalam sediaan ini terdapat sirupus simpleks, maka rasa yang terasa adalah rasa manis, namun lama-lama menjadi agak pahit. Dan bau yang terciumpun bau sirupus simpleks. Namun pada hari ke 4, terdapat banyak mikroba pada sediaan yang dibuat, ini dapat dilihat salah satunya dari warna sediaan yang berubah menjadi keruh. Hal ini terjadi karena pada sediaan ini tidak ditambahkan zat pengawet, serta dalam sediaan ini digunakan air sebagai pelarut, dimana air merupakan media tempat tumbuhnya mikroba. 

Pada hasil pengamatan sediaan 2 yang berisi dekstrometorphan dan sirupus simpleks 75 %. Dari hari ke 1 hingga ke 4, terdapat kristal pada mulut botol, ini dapat disebabkan karena jumlah sirupus simpleks yang diapakai dalam sediaan 2 adalah ¾ dari total sediaan yang dibuat dan pada sediaan ini, tidak menggunakan bahan tambahan anticaplocking, sehingga terbentuk kristal pada mulut botol. Pada hari ke 3 dan ke 4 terjadi pertumbuhan mikroba yang diikuti dengan perubahan organoleptis terutama perubahan warna dari bening kekuningan menjadi keruh. Karena keruhnya suatu sediaan, menunjukkan bahwa dalam sediaan tersebut terdapat mikroba. Begitupun dengan baunya, karena dalam sediaan ini terdapat banyak sirupus simpleks, maka rasa dan bau yang tercium adalah rasa dan bau sirupus simpleks, namun seiring dengan tumbuhnya mikroba, maka bau yang tercium menjadi agak asam. Timbulnya mikroba dapat terjadi karena dalam sediaan ini tidak menggunakan pengawet. 

Dari hasil pengamatan sediaan 3 yang berisi dekstrometorphan, sirupus simpleks 25%, metil paraben, dan propil paraben. Dari ke 1 hingga ke 4 tidak terbentuk kristal pada leher botol yang dikarenakan oleh penggunaan sirupus simpleks yang tidak terlalu banyak sehingga tidak terbentuk kristalisasi gula. Selain itu, tutup botol yang digunakan adalah tutup botol gabus, sehingga kristal pada leher botol tidak terlalu terlihat jelas. Pada hari ke 4 terjadi pertumbuhan mikroba, seharusnya ini tidak terjadi karena dalam sediaan ini terdapat metil paraben dan propil paraben yang bertindak sebagai pengawet agar tidak terjadi kontaminasi oleh mikroorganisme. Namun kenyataannya berbeda, ini dapat disebabkan pada saat pembukaan botol, udara dari luar masuk ke dalam botol yang menyebabkan kandungan senyawa aktifnya (dekstromertophan) dapat teroksidasi atau terurai membentuk senyawa lain yang mungkin bersifat lebih toksik atau lebih beracun dari pada zat asalnya. Hal ini dapat membahayakan kesehatan. Dari pengamatan organoleptis, terjadi perubahan warna dari bening menjadi keruh karena adanya mikroba. Karena metil paraben dan propil paraben kurang larut dalam air terutama propil paraben, sehingga untuk melarutkan keduanya digunakan etanol. Dan bau yang terciumpun bau sirupus simpleks dan bau etanol. 



Dalam sediaan 4 yang mengandung dextrometorphan, sirupus simpleks 25% dan metil paraben, terlihat tidak terdapat kristal pada mulut botol. Pada hari ke 4 terlihat adanya pertumbuhan mikroba, seharusnya dalam sediaan ini tidak terjadi kontaminasi oleh mikroorganisme. Selain mungkin disebabkan oleh teroksidasinya senyawa aktif, mungkin pengawet yang digunkan kurang memberikan kerja yang maksimal sehingga terjadi kontaminasi mikroorganisme. Seiring dengan tumbuhnya mikroba, pengamatan organoleptikpun ikut berubah. 

Dari hasil pengamatan sediaan 5 yang berisi dekstrometorphan, sirupus simpleks 25% dan sorbitol, tidak terlihat adanya kristal pada mulut botol. Hal ini dapat disebabkan karena dalam sediaan 5 terdapat sorbitol yang merupakan anticaplocking yang dapat mencegah terbentuknya kristal gula pada leher botol. Karena dalam sediaan ini tidak menggunakan pengawet, maka pada hari ke 2 sudah terlihat timbulnya mikroba, selain itu pelarut yang digunakan adalah air yang merupakan media untuk timbulnya mikroba. Begitupun dengan pengamatan organoleptis, dengan timbulnya mikroba, warna sediaan yang terlihatpun lama-lama menjadi kuning keruh. 

Dalam percobaan ini, selain membuat sediaan larutan dilakukan pula percobaan membuat eliksir dengan dua metode. Metode pertama, parasetamol dilarutkan ke dalam etanol kemudian ditambahkan air dan dimasukan ke dalam botol. Metode kedua, air dan etanol dicampurkan kemudian dimasukan parasetamol sedikit demi sedikit lalu campuran tersebut diaduk hingga homogen dan dimasukan ke dalam botol. Dari hasil pengamatan yang didapat, terlihat bahwa metode pertama lebih memberikan hasil yang maksimal dengan parasetamol yang terlarut dengan sempurna dibandingkan dengan metode kedua. Hal ini dapat dilihat dari kejernihan kedua sediaan eliksir yang dibuat, dimana eliksir yang dibuat dengan metode pertama memiliki terlihat lebih jernih dibandingkan dengan eliksir yang dibuat dengan metode kedua. Hal ini dapat disebabkan karena parasetamol larut dalam 70 bagian air, dan dalam 7 bagian etanol (95%), yang berarti bahwa 1 g parasetamol larut dalam 70 ml air dan 1 g parasetamol larut dalam 7 ml etanol, sehingga dengan menggunakan cara yang pertama yang dilarutkan dalam etanol terlebih dahulu, parasetamol akan lebih cepat larut. Disini etanol berfungsi mempertinggi kelarutan obat pada elixir dapat pula ditambahkan glicerol, sorbitol atau propilenglikol. Sedangkan untuk pengganti gula bisa digunakan sirup gula. (Lahman,1994) 

Dilakukan evaluasi sediaan eliksir selama seminggu yang mencakup evaluasi organoleptik (warna, rasa, bau), pH, kejernihan, berat jenis, viskositas dan volume terpindahkan. Dari hasil pengamatan organoleptik, tidak terjadi perubahan warna, rasa ataupun bau dari hari pertama hingga hari keempat. Ini dapat disimpulkan bahwa kedua sediaan eliksir yang dibuat cukup stabil. pH yang didapat dari kedua sediaan adalah 6. Pengontrolan pH sangat penting karena untuk meningkatkan kelarutan zat aktif. Profil laju pH menunjukkan katalis asam spesifik dengan stabilitas maksimumnya pada jarak pH 5 sampai 7 (Connors,et al.,1986). 

Pada pembuatan sediaan elixir ini digunakan pelarut campur (kosolven) untuk menaikkan kelarutan. Untuk memperkirakan kelarutan suatu zat dalam pelarut campur harus dilihat harga konstanta dielektriknya (KD). Dimana semakin tinggi harga konstanta dielektriknya, kepolarannya semakin tinggi. Dalam percobaan ini di dapat harga KD pelarut campur yaitu 62,88. Suatu pelarut campur yang ideal mempunyai harga konstanta dielektrik antara 25 sampai 80. Dalam percobaan ini dihasilkan pelarut campur yang memenuhi persyaratan pelarut yang ideal. 









0 Response to "Cara Pembuatan Larutan Dalam Medis"

Post a Comment