Hak Ekonomi, Hak Moral, dan Fungsi Sosial

Pada Hak atas Kekayaan Intelektual terdapat adanya dua hak khusus, yaitu hak ekonomi (economic right) dan hak moral (moral right), disamping adanya fungsi sosial[1]. Hak ekonomi adalah hak untuk memperoleh keuntungan atas kekayaan intelektual. Hak ini berupa keuntungan sejumlah uang yang diperoleh karena penggunaan sendiri hak kekayaan intelektual, atau karena penggunaan oleh pihak lain berdasarkan lisensi. Hal ini dikarenakan hak kekayaan intelektual dapat menjadi objek perdagangan dalam dunia usaha. Hak ekonomi dapat dialihkan. Sedangkan hak moral adalah hak yang melindungi kepentingan pribadi (reputasi) pencipta atau penemu. Hak ini melekat pada pribadi pencipta atau penemu yang bersifat pribadi, menunjukkan ciri khas yang berkaitan dengan nama baik, kemampuan, dan integritas yang hanya dimiliki oleh pencipta atau penemu serta bersifat kekal artinya melekat pada pencipta atau penemu selama hidup bahkan setelah meninggal dunia. Maksud fungsi sosial dalam hal ini adalah bahwa disamping hak atas kekayaan intelektual untuk kepentingan pribadi pemiliknya, juga untuk kepentingan umum. 



Berkaitan dengan desain industri dan merek dagang pada produk batik, maka hak ekonomi pada merek dagang, yaitu hak memperoleh keuntungan ekonomi dari hak penggunaan sendiri maupun penggunaan melalui lisensi merek dagang tersebut[2]. Hal yang sama juga berlaku pada desain industri[3]. Hak ekonomi ini dapat dialihkan melalui lisensi. Hak moral, yaitu hak untuk menghormati karya desain batik dan pencantuman nama desain dalam Daftar Umum Desain Industri dan Berita Resmi Desain Industri[4]. Hak moral hanya terdapat pada desain industri, selain juga hak cipta, dan tidak pada merek dagang. Berbeda dengan hak ekonomi, untuk hak moral tidak dapat dialihkan karena hak moral merupakan hak yang melekat pada pendesain. Sedangkan fungsi sosial maksudnya adalah bahwa pada penggunaan merek dagang dan desain industri tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, moralitas agama, atau kesusilaan serta penggunaannya tidak saja untuk kesejahteraan pemiliknya tapi juga untuk kesejahteraan masyarakat umumnya. Khusus untuk desain, salah satu mekanisme yang dapat dijadikan perwujudan fungsi sosial, yaitu “compulsory licensing”[5]. Melalui “compulsory licensing” sekiranya Negara melihat suatu desain sangat penting artinya bagi kehidupan masyarakat (kepentingan nasional), maka Negara mewajibkan pemilik desain memberikan izin (lisensi) kepada pihak lain. Ini berarti kepentingan umum dapat membatasi hak individu, sehingga terwujud keseimbangan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat, dimana ada kesempatan bagi masyarakat dalam batas dan syarat tertentu untuk ikut serta memanfaatkan desain terdaftar. 



Bagaimana Hukum Melindungi Batik Sebagai Produk Nasional? 



Perlunya aturan hukum dalam bentuk Undang-undang yang mengatur mengenai desain industri dan merek dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum yang tegas, jelas, dan efektif guna mencegah berbagai bentuk pelanggaran, yang dilakukan oleh orang yang tidak berhak, berupa peniruan dan pemalsuan. Di samping itu juga perlindungan hukum desain industri dan merek ini dimaksudkan untuk menjamin hak-hak serta kewajiban-kewajiban pendesain dan pemilik merek. 



Batik, sebagai produk nasional yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia, memiliki beragam desain motif batik yang menjadi ciri khas dari asal daerah yang bersangkutan. Oleh karena desain motif batik dan merek dagang dari produk batik merupakan kekayaan intelektual, maka sudah seharusnya mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan hukum terhadap desain tekstil untuk desain motif batik, akan merangsang aktifitas kreatif pendesain untuk terus menerus berkarya dalam menciptakan desain-desain motif batik yang baru maupun desain-desain baju batik yang baru yang dapat menjadi “trend” dikalangan masyarakat luas. Sedangkan perlindungan hukum terhadap merek dagang produk batik akan memberikan kepastian hukum bagi perusahaan sebagai pemilik merek dalam penggunaan merek dagangnya untuk produk batik yang diproduksi maupun dipasarkan ke masyarakat. Dengan adanya kepastian hukum ini, maka mencegah orang lain yang tidak berhak untuk memakai merek yang sama pada pokoknya atau pada keseluruhan dengan merek dagang produk batik dari si pemilik merek yang sah. Selain itu juga mencegah orang lain yang tidak berhak untuk memakai/menggunakan/membuat/menjual desain orang lain yang bukan miliknya. 



Pasal 6, 7, dan 8 UU No. 31/2000 tentang Desain Industri mengatur secara tegas mengenai subjek desain industri. Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa “yang berhak memperoleh hak desain industri adalah Pendesain atau yang menerima hak tersebut dari Pendesain”. Sedangkan ayat (2) nya menyatakan bahwa “dalam hal Pendesain terdiri atas beberapa orang secara bersama maka hak desain industri diberikan kepada mereka secara bersama, kecuali diperjanjikan lain”. Lebih jauh Pasal 7 ayat (1) UU No. 31/2000 tentang Desain Industri menyatakan bahwa “jika suatu desain industri dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, yang menjadi Pemegang Hak Desain Industri adalah pihak yang untuk dan/atau dalam dinasnya desain industri itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak Pendesain apabila penggunaan desain industri diperluas sampai ke luar hubungan dinas”. Ayat (2) menyatakan bahwa “ ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi desain industri yang dibuat orang lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan dinas”. Dan ayat (3) nya menyatakan bahwa “jika suatu desain industri dibuat dalam hubungan kerja atas berdasarkan pesanan, orang yang membuat desain industri itu dianggap sebagai Pendesain dan Pemegang Hak Desain Industri, kecuali jika diperjanjikan lain antara kedua pihak”. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU No. 31/2000 tentang Desain Industri, Pendesain tetap mempunyai hak untuk tetap dicantumkan namanya dalam Sertifikat Desain Industri, Daftar Umum Desain Industri dan Berita Resmi Industri. 



Pendesain dapat diartikan sebagai subjek hukum, baik secara perorangan atau dalam ikatan kelompok, yang menghasilkan/melahirkan suatu karya desain yang bersifat khas dan dijadikan suatu “pattern” dalam kegiatan produksi pada dunia industri. Sedangkan Pemegang Hak Desain adalah Pendesain sebagai Pemilik Desain atau orang yang menerima hak atas desain tersebut dari Pendesain, atau orang lain yang menerima lebih lanjut hak termaksud dari orang-orang yang terlebih dahulu.[6]



Dalam kondisi yang umum, Pendesain melakukan kegiatannya secara mandiri tidak terikat dalam hubungan hukum dengan pihak lain, misalnya dalam ikatan kerja atau perburuhan, maka secara mudah dapat ditentukan bahwa pihak yang menjadi Pemegang Hak dan sekaligus Pemilik Hak atas Desain adalah Pendesain itu Sendiri. Namun dalam hal Pendesain menjalankan kegiatannya terikat dalam hubungan hukum dengan pihak lain, terdapat ketentuan tertentu mengenai subjek hukum desain industri sebagai berikut :[7]

a. Jika suatu desain dibuat dalam hubungan dinas atau hubungan kerja, pihak yang berhak memperoleh hak desain adalah pihak yang memberikan pekerjaan tersebut, kecuali ada perjanjian lain antara pendesain dengan pihak tempatnya bekerja. Meskipun secara prinsip yang berhak memiliki hak desain itu adalah pihak yang memberikan pekerjaan, pendesain berhak memperoleh imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang dapat diperoleh dari hasil desain tersebut; 

b. Jika suatu desain dibuat berdasarkan pesanan, pihak yang membuat desain itu sebagai pendesainnya dan sebaliknya pemilik desain itu sebagai pemesannya, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua pihak tersebut; 

c. Desain yang dihasilkan baik oleh karyawan maupun pekerja yang menggunakan data dan sarana yang tersedia dalam pekerjaannya, pemiliki desain tersebut adalah pihak tempat karyawan/pekerja tersebut bekerja, sekalipun perjanjian kerja itu mengharuskannya untuk menghasilkan desain. 

Dengan demikian, meskipun pendesain tidak mempunyai hak atas desain tersebut, pendesain tetap berhak memperoleh kompensasi karena adanya nilai ekonomi yang diperoleh dari desain tersebut. 



Dengan demikian, Pemegang Hak Desain Indusrtri adalah Pendesain, atau Penerima hak dari Pendesain karena pewarisan atau pengalihan atau sebab-sebab lain yang dibenarkan Undang-undang, atau Pemberi kerja dalam hubungan dinas, atau Pembuat sebagai Pendesain dalam hubungan kerja, yang namanya tercatat dalam Daftar Umum Desain Industri. Jadi dasar yuridis untuk mengetahui siapa Pemegang Hak Desain Industri yang sah adalah Daftar Umum Desain Industri, dimana namanya terdaftar dan telah diumumkan secara resmi dalam Berita Resmi Desain Industri. 



Oleh karena cakupan desain industri sangat luas serta keterkaitannya dengan disiplin yang lain, maka ada beberapa pihak yang terlibat dalam konsep desain industri, yaitu Desainer sebagai orang yang merancang, Manufaktur yang membuat produk, Pemakai produk (konsumen/masyarakat), Lembaga Swadaya Masyarakat terutama di bidang konsumen dan lingkungan hidup, dan Pemerintah. 



Dalam bidang merek, pemilik merek adalah seseorang, beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum yang telah menciptakan suatu tanda yang digunakan sebagai merek untuk produk yang mereka produksi dan/atau perdagangkan, yang mana merek tersebut sudah terdaftar dalam Daftar Umum Merek. Jadi Pemegang Hak atas Merek adalah Pemilik Merek itu sendiri atau orang lain yang mendapat hak atas merek dari si Pemilik Merek berdasarkan perjanjian (lisensi)[8]



Agar desain industri dan merek dagang, dalam hal ini desain tekstil untuk desain motif batik dan merek dagang untuk produk Batik, dapat dilindungi hukum adalah dengan cara pendaftaran. Pendaftaran desain industri (desain tekstil untuk desain motif batik) menimbulkan hak eksklusif, yaitu hak khusus yang hanya diberikan oleh Negara untuk jangka waktu tertentu kepada Pemegang Hak Desain Industri untuk melaksanakan sendiri hak desain industri yang dimilikinya, atau memberikan persetujuan/izin kepada pihak lain untuk melaksanakan haknya atas desain tersebut. Dengan demikian orang lain yang tidak berhak dilarang menggunakan/membuat/memakai/menjual desain industri tersebut tanpa persetujuan dari Pemegang Hak Desain Industri[9]. Pemegang Hak Desain Industri memberikan persetujuan (izin) kepada pihak lain untuk melaksanakan (menggunakan) haknya atas desain tersebut dapat melalui pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh Undang-undang[10]. Hal yang sama berlaku juga untuk merek dagang produk batik. Pendaftaran merek (merek dagang produk batik) menimbulkan hak eksklusif, yaitu hak khusus yang hanya diberikan oleh Negara kepada bagi Pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan persetujuan (izin) kepada pihak lain untuk menggunakannya[11]. Pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek dapat memberikan persetujuan (izin) kepada pihak lain untuk menggunakan mereknya melalui pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh Undang-undang[12]



Jadi hak desain industri tercipta karena pendaftaran dan hak eksklusif atas suatu desain akan diperoleh karena pendaftaran. Pendaftaran adalah mutlak untuk terjadinya suatu hak desain industri. Tanpa pendaftaran, tidak akan ada hak atas desain industri, juga tidak akan ada perlindungan hukum. Hal yang sama berlaku juga pada merek. Hak atas merek tercipta karena pendaftaran pertama kali atas merek tersebut dan hak eksklusif atas merek akan diperoleh karena pendaftaran pertama kali atas merek tersebut. Tanpa pendaftaran, tidak akan ada hak atas merek, juga tidak akan ada perlindungan hukum atas merek tersebut. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 12 UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri yang menyatakan bahwa “Pihak yang untuk pertama kali mengajukan Permohonan dianggap sebagai Pemegang Hak Desain Industri, kecuali jika terbukti sebaliknya”. Dan Pasal 3 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek yang menyatakan bahwa “Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya”. Jelas dapat disimpulkan bahwa sistem pendaftaran yang dianut oleh UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dan UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek adalah bersifat konstitutif. 



Perlindungan hukum terhadap Hak Desain Industri diberikan untuk jangka waktu adalah 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan (Pasal 5 UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri). Sedangkan merek terdaftar mendapatkan perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu perlindungan ini dapat diperpanjang kembali (Pasal 28 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek). Bedanya dengan Merek, perlindungan hukum terhadap Hak Desain Industri tidak dapat diperpanjang kembali. Selanjutnya Kantor Pendaftaran akan menerbitkan Sertifikat Pendaftaran Hak Desain Industri dan Sertifikat Pendaftaran Merek sebagai bukti tertulis bahwa Hak Desain Industri dan Mereknya tersebut resmi sudah terdaftar, dan sertifikat tersebut akan diberikan kepada Pemegang Hak Desain Industri dan Pemilik Merek terdaftar. 



Pasal 2, 3, dan 4 jo. Pasal 10 sampai dengan Pasal 30 UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dan Pasal 4, 5, dan 6 jo. Pasal 7 sampai dengan Pasal 27 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek mengatur secara tegas mengenai mekanisme pendaftaran dan persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu desain industri dan merek dapat didaftarkan, yang meliputi persyaratan substantive (materiil) dan administrtif (formal). 



Syarat substantif bagi desain industri, yaitu bahwa suatu desain industri harus memenuhi unsur novelty (kebaharuan), industrial applicability (bernilai praktis dan dapat diterapkan/diproduksi dalam industi), tidak termasuk dalam daftar pengecualian (bertentangan dengan peraturan yang berlaku, ketertiban umum, agama atau kesusilaan), dan apakah Pendesain atau orang yang menerima lebih lanjut Hak Desain tersebut berhak atu tidak atas desain tersebut. Sedangkan syarat substantif bagi merek, yaitu bahwa suatu tanda yang akan digunakan sebagai merek harus memenuhi unsur pembeda/daya pembeda (capable of distinguishing), tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum (morality and public order), bukan menjadi milik umum (not becoming public property), bukan keterangan mengenai barang/jasa yang dimintakan pendaftaran, tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik orang lain yang sudah terdaftar, bukan peniruan atau menyerupai nama/singkatan nama, bendera, lambang/simbol/emblem dari Negara atau lembaga nasional maupun internasional kecuali atas persetujuan, bukan peniruan atau menyerupai tanda/cap/stempel resmi yang digunakan Negara atau lembaga pemerintah kecuali atas persetujuan, bukan peniruan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain kecuali atas persetujuan. Adapun syarat administratif, baik bagi desain industri dan merek, yaitu persyaratan dalam pengajuan permohonan pendaftaran, kelengkapan dokumen administratif yang harus dipenuhi oleh pihak pemohon, sampai dengan pembayaran biaya administratif pendaftaran. 






0 Response to "Hak Ekonomi, Hak Moral, dan Fungsi Sosial "

Post a Comment