Klasifikasi dan Arah Pengembangan Jasa Kelautan

Deskripsi, Klasifikasi dan Arah Pengembangan Jasa Kelautan 

Bidang Kelautan terdiri dari berbagai sektor yang dapat dikembangkan untuk memajukan dan memakmurkan bangsa Indonesia, yaitu: (1) perikanan tangkap; (2) perikanan budidaya; (3) industri pengolahan hasil perikanan; (4) industri bioteknologi kelautan; (5) pertambangan dan energi; (6) pariwisata bahari; (7) angkutan laut; (8) jasa perdagangan; (9) industri maritim; (10) pulau-pulau kecil; dan (11) sumberdaya non-konvensional; (12) bangunan kelautan (konstruksi dan rekayasa); (13) benda berharga dan warisan budaya (cultural heritage); (14) jasa lingkungan, konservasi dan biodiversitas. Berdasarkan uraian di atas, maka bidang kelautan dapat dibagi menjadi 2 sub bidang yakni sub bidang sumberdaya primer yakni (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya dan (3) pertambangan dan sub bidang jasa kelautan yang meliputi (1) industri bioteknologi, farmasi dan sumberdaya genetika, (2) energi, (3) pariwisata bahari, (4) industri maritim : galangan kapal, garam dll; (5) angkutan laut dan pelabuhan; (6) jasa perdagangan; (7) sumberdaya non konvensional (deep sea water); (8) bangunan kelautan (kontruksi dan rekayasa); (9) pulau-pulau kecil; (10) benda berharga dan warisan budaya (cultural heritage); (11) jasa lingkungan, konservasi dan biodiversitas. Dengan klasifikasi tersebut maka jasa kelautan mempunyai potensi yang luar biasa untuk dikembangkan. Walaupun masih perlu analisis dan pendalaman yang lebih komprehensif terhadap klasifikasi tersebut arah pengembangan yang dapat dilakukan diantaranya adalah sebagai berikut: 

3.1. Industri Bioteknologi, Farmasi dan Sumberdaya Genetika. 

Indonesia sebagai negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari perairan, menyimpan potensi sumberdaya hayati laut yang sangat besar baik jumlah maupun jenisnya (biodiversity). Potensi bioteknologi kelautan dan perikanan berupa senyawa-senyawa bioaktif produk alam (natural products) seperti skualen, omega-3, fikokoloid dan biopolimer yang terdapat pada mikro dan makroalgae, mikroorganisme maupun invertebrata, saat ini belum dimanfaatkan dan dikelola secara optimal, padahal potensi tersebut memiliki prospek yang cerah untuk dikembangkan antara lain untuk keperluan industri makanan sehat, farmasi, kosmetik dan industri berbasis bioteknologi lainnya 

Bioteknologi kelautan dan perikanan merupakan suatu teknik yang menerapkan ilmu-ilmu dasar maupun rekayasa (engineering) untuk memproses bahan dengan menggunakan organisme atau bahan pembentuknya yang berhabitat laut melalui proses yang terkontrol sehingga menjadi produk yang berguna. Berbagai bidang ilmu yang menunjang dan terkait dengan bioteknologi adalah biologi, biokimia, kimia, genetika, dan rekayasa. Sebagai contoh, Amerika Serikat yang memiliki potensi keanekaragaman hayati laut yang jauh lebih rendah daripada Indonesia, sudah dapat meraup devisa dari industri bioteknologi kelautan lebih dari 40 milyar dollar per tahun. 

Oleh karena itu dalam era globalisasi ini, penguasaan ilmu dan teknologi termasuk bioteknologi merupakan hal yang sangat penting bagi suatu institusi agar mampu mengembangkan ilmu pengetahuan (iptek) yang dapat diadopsi oleh masyarakat dan industri untuk membantu memecahkan masalah nasional, misalnya dalam hal menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan kesejahteraan penduduk dan sebagainya. 

Industri perikanan dan bioteknologi diperkirakan memiliki nilai ekonomi sebesar 82 miliar dollar AS per tahun. Namun demikian karena Indonesia belum serius menggarap sub sektor ini berdasarkan kajian PKSPL IPB (2006), Indonesia diperkirakan kehilangan potensi pendapatan dari produk-produk bioteknologi kelautan minimal sekitar US$ 1 miliar per tahun. Hal ini disebabkan karena lemahnya aplikasi bioteknologi kelautan serta jarangnya pengusaha yang terjun ke sektor tersebut. Padahal berdasarkan inventarisasi Divisi Bioteknologi Kelautan PKSPL IPB, diperkirakan terdapat 35.000 biota yang dimiliki laut Indonesia, sehingga seharusnya Indonesia mempunyai pendapatan miliaran dolar per tahun dari produk-produk biotek tersebut. Negara-negara maju yang memiliki sumberdaya kelautan terbatas saja dalam tahun 2004 produk ekspor bioteknologi kelautan Amerika Serikat mencapai US$4,6 miliar, sedang Inggris memperoleh sekitar US$2,3 miliar. 

Pemanfaatan industri perikanan dan bioteknologi tersebut melalui ekstraksi natural produk atau bioactive substances dari biota laut untuk industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetika dan bioenergi bisa disediakan Indonesia dengan sumber daya alam yang ada. Produk-produk yang bisa dihasilkan dari hasil rekayasa biota laut seperti makanan, tablet, salep, suspensi, pasta gigi, cat, tekstil, perekat, karet, film, pelembab, sampo, lotion, wet look. 

Sebagai contoh pemanfaatan yang tidak optimum adalah rumput laut. Nilai ekspor rumput laut Filipina mencapai US$700 juta sementara Indonesia hanya US$45 juta. Padahal 60% bahan mentahnya berupa rumput laut diimpor dari Indonesia. Artinya Indonesia masih kurang kuat dalam industri end product kelautan karena dukungan teknologi serta formulasinya yang masih tertinggal, sehingga hanya mampu memanfaatkan potensi kelautan sebatas bahan baku saja. 

Keadaan sebaliknya terjadi pada daya dukung alam serta kemampuan alam daratan menyediakan segenap kebutuhan manusia sangat terbatas atau bahkan menurun. Namun dengan perkembangan bioteknologi, usia pemanfaatan sumber-sumber kehidupan yang ada dapat dipertahankan lebih lama. Dan potensi itu masih relatif melimpah di dalam laut. 

Hal ini yang mendorong berkembangnya bioteknologi kelautan yang bertujuan memanfaatkan sel atau enzim yang terkandung dalam organisme di laut untuk berbagai aplikasi atau kebutuhan manusia termasuk pemulihan lingkungan yang rusak. Selain bioremediasi pencemaran lingkungan, dengan bioteknologi kelautan dilakukan ekstraksi zat bioaktif dari biota laut untuk industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetika, serta bioenergi. Selain itu, juga dilakukan rekayasa genetika untuk budidaya ikan dan biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. 

Dengan pesatnya perkembangan bioteknologi kelautan, berbagai jenis produk makanan dan obat-obatan memang berhasil dikembangkan oleh industri. Hasil pengolahan biota laut oleh industri bioteknologi menjadi obat-obatan dan bahan farmasi di antaranya adalah obat tidur dan obat penenang dari kuda laut, tempurung kura-kura untuk obat luka dan tetanus, hati ikan buntel untuk obat tetrodotoxin yang memperbaiki saraf otak yang rusak dan mengurangi rasa sakit. Selain itu, juga ada kitin dan kitosan dari kulit udang dan kepiting untuk obat anti kolesterol, pelangsing tubuh, ataupun perban. Adapun serbuk kerang digunakan untuk obat maag. Ular dari laut diambil serbuknya untuk meningkatkan daya ingat. 

Selain manfaat dari biota laut yang belum banyak dikenal orang, rumput laut yang selama ini diketahui sebagai bahan makanan ternyata memiliki berbagai khasiat. Rumput laut juga bisa diolah untuk obat influenza dan bahan pengawet makanan 

Dari tumbuhan laut ini terutama alga hijau digunakan untuk penyembuh penyakit kardiovaskular. Riset tentang rumput laut juga dilakukan untuk obat hepatitis, obat penyakit HIV/AIDS, dan obat penyakit diabetes. 

PKSPL IPB saat ini sedang meneliti spons. Spons saat ini juga tengah gencar diteliti di berbagai negara untuk diambil senyawa bioaktifnya. Pada spons dan karang lunak terdapat senyawa bioaktif yang berfungsi sebagai alat pertahanan diri dari musuh alaminya. Senyawa itu ternyata berkhasiat obat dan kemudian dibuat sintetisnya. Spons dari spesies Petrosia contegnatta di antaranya diambil senyawa bioaktifnya untuk obat anti-kanker, sedangkan obat anti-asma dibuat dari senyawa spons Cymbacela. 

Senyawa bioaktif lainnya dari spons yang juga digunakan untuk industri farmasi adalah Bastadin, Okadaic acid, dan Monoalide. Senyawa bioaktif Monoalide yang diperoleh dari spons Luffariella variabilis merupakan senyawa yang memiliki nilai jual tertinggi daripada senyawa bioaktif dari spesies spons lainnya, yaitu 20.360 dollar AS per miligram. 

Melihat prospek manfaat dan ekonominya yang tinggi, budidaya spons yang relatif mudah merupakan mata pencarian yang bisa dikembangkan para nelayan di Indonesia. Budidaya spons laut dilakukan hanya dengan menjulurkan tali-temali ke dasar laut. Pada tiap tali itu diikat spons-spons secara paralel. Setelah sekitar 18 bulan, spons yang tumbuh ini bisa dipanen dan dijual ke industri kimia dan industri farmasi. 

Satu hal yang juga terlupakan terhadap pengembangan bioteknologi kelautan ini, bahwa sumberdaya ini dapat dikembangkan sebagai sumber pangan dan obat-obatan. Tentunya akan sangat relevan dengan adanya semakin menipisnya sumber-sumber pangan manusia dari daratan dan kebutuhan manusia akan bahan pangan, pakaian (serat), obat-obatan, kosmetik, papan (kayu), mineral, dan lahan akan meningkat berlipat ganda sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. 

Menurut proyeksi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun lalu, dalam waktu seabad akan terjadi peningkatan lima kali lipat jumlah penduduk. Pada tahun 2050 penduduk dunia akan mencapai 10,6 miliar jauh meningkat dari tahun 2000 penduduk meningkat dari 6,1 miliar dan pada tahun 1950 yang berjumlah 2,5 miliar orang. Pertambahan penduduk berarti terjadi peningkatan terhadap semua jenis kebutuhan, seperti obat dan makanan. Sementara persediaan ikan dunia sebanyak 90 juta ton per tahun, tetapi volume penangkapannya telah mencapai 95 juta ton per tahun. Tahun 2000 total penangkapan meningkat menjadi 110 juta ton per tahun. 

Peningkatan kebutuhan ikan juga bakal terjadi di Indonesia. Pada 2006 diperkirakan mampu mencapai 7,5 juta ton per tahun. Padahal, potensi ikan yang tersedia hanya maksimal 6,4 juta ton per tahun. 

Oleh karena itu, perlu dicari teknologi yang mampu memproduksi bahan kebutuhan manusia di luar kemampuan alam. " 

3.2. Energi 

Bila ditelaah lebih jauh sektor energi dapat dikategorikan dalam jasa kelautan. Berdasarkan data geologi diketahui Indonesia memiliki 60 cekungan potensi yang mengandung minyak dan gas bumi. Sebanyak 40 cekungan di antaranya terdapat di lepas pantai, 14 berada di daerah transisi daratan dan lautan (pesisir), dan hanya 6 saja yang berada di daratan. Dari seluruh cekungan tersebut diperkirakan mempunyai potensi sebesar 11,3 miliar barrel yang terdiri atas 5,5 miliar barrel cadangan potensial dan 5,8 miliar barrel berupa cadangan terbukti. Selain itu diperkirakan cadangan gas bumi adalah 101,7 triliun kaki kubik yang terdiri dari cadangan terbukti 64,4 triliun dan cadangan potensial 37,3 triliun kaki kubik. 

Laut selain menjadi sumber pangan juga mengandung beraneka sumber daya energi. Kini para ahli menaruh perhatian terhadap laut sebagai upaya mencari jawaban terhadap tantangan kekurangan energi di waktu mendatang dan upaya menganekakan penggunaan sumber daya energi. Kesenjangan antara kebutuhan dan persediaan energi merupakan masalah yang perlu segera dicari pemecahannya. Apalagi mengingat perkiraan dan perhi- tungan para ahli pada tahun 2010-an produksi minyak akan menurun tajam dan bisa menja- di titik awal kesenjangan energi. 

Namun, pengembangan sumber energi alternatif memerlukan waktu sebelum sampai pada pemanfaatan secara ekonomi. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis, Kanada, Jepang, Belanda, dan Korea telah mulai meneliti kemungkinan pemanfaatan energi dari laut terutama panas laut, gelombang dan pasang surut, dengan hasil yang memberikan harapan cukup baik. 

Energi samudera dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu energi panas laut, energi pasang surut, dan energi gelombang. Untuk lautan di wilayah Indonesia, potensi termal 2,5 x 1023 joule dengan efisiensi konversi energi panas laut sebesar tiga persen dapat menghasilkan daya sekitar 240.000 MW. 

Potensi energi panas laut yang baik terletak pada daerah antara 6- 9° lintang selatan dan 104-109° bujur timur. Di daerah tersebut pada jarak kurang dari 20 km dari pantai didapatkan suhu rata-rata permukaan laut di atas 28°C dan didapatkan perbedaan suhu permukaan dan kedalaman laut (1.000 m) sebesar 22,8°C. Sedangkan perbedaan suhu rata-rata tahunan permukaan dan kedalaman lautan (650 m) lebih tinggi dari 20°C. Dengan potensi sumber energi yang melimpah, konversi energi panas laut dapat dijadikan alternatif pemenuhan kebutuhan energi listrik di Indonesia. 

Wilayah Indonesia terdiri dari banyak pulau. Cukup banyak selat sempit yang membatasinya maupun teluk yang dimiliki masing-masing pulau. Hal ini memungkinkan untuk memanfaatkan energi pasang surut. Saat laut pasang dan saat laut surut aliran airnya dapat menggerakkan turbin untuk membangkitkan listrik. 

Pemanfaatan pusat listrik energi pasang surut direalisasikan di La Ranche Perancis diikuti oleh Rusia di Murmansh, Lumboy, Tae Menzo Boy, dan The Thite Sea. Tidak jauh dari Indonesia, ada Australia yang memanfaatkannya di Kimberly. Saat ini potensi energi pasang surut di seluruh samudera di dunia tercatat 3.106 MW. 

Untuk Indonesia daerah yang potensial adalah sebagian Pulau Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Papua, dan pantai selatan Pulau Jawa, karena pasang surutnya bisa lebih dari lima meter. Mekanisme pusat listrik energi pasang surut tergantung pada beberapa faktor: arah angin, kecepatan, lamanya bertiup, dan luas daerah yang dipengaruhi. Oleh karena itu, di dalam penelitian mengenai energi ini faktor meteorologi/geofisika menjadi kuncinya. 

Pada pemanfaatan energi ini diperlukan daerah yang cukup luas untuk menampung air laut (reservoir area). Namun, sisi positifnya adalah tidak menimbulkan polutan bahan-bahan beracun baik ke air maupun udara. Selain panas laut dan pasang surut, masih ada energi samudera lain yaitu energi gelombang. Sudah banyak pemikiran untuk mempelajari kemungkinan pemanfaatan energi yang tersimpan dalam ombak laut. Salah satu negara yang sudah banyak meneliti hal ini adalah Inggris. 

Menurut pengamatan Hulls, deretan ombak (gelombang) yang terdapat di sekitar pantai Selandia Baru dengan tinggi rata-rata 1 meter dan periode 9 detik mempunyai daya sebesar 4,3 kW per meter panjang ombak. Sedangkan deretan ombak serupa dengan tinggi 2 meter dan 3 meter dayanya sebesar 39 kW per meter panjang ombak. Untuk ombak dengan ketinggian 100 meter dan perioda 12 detik menghasilkan daya 600 kW per meter. Karena beberapa laut di Indonesia mempunyai ombak dengan ketinggian di atas 5 meter, maka potensi energi gelombangnya perlu diteliti lebih jauh. 

Konversi energi panas laut adalah sistem konversi energi yang terjadi akibat perbedaan suhu di permukaan dan di bawah laut menjadi energi listrik. Potensi terbesar konversi energi panas laut untuk pembangkitan listrik terletak di khatulistiwa. Soalnya, sepanjang tahun di daerah khatulistiwa suhu permukaan laut berkisar antara 25-30°C, sedangkan suhu di bawah laut turun 5-7°C pada kedalaman lebih dari 500 meter. 



Terdapat dua siklus konversi energi panas laut, yaitu siklus Rankine terbuka dan siklus Rankine tertutup. Sebagai pembangkit tenaga listrik, konversi energi panas laut siklus Rankine terbuka memerlukan diameter turbin sangat besar untuk menghasilkan daya lebih besar dari 1MW, sedangkan komponen yang tersedia belum memungkinkan untuk menghasilkan daya sebesar itu, alternatif lain yaitu siklus Rankine tertutup dengan fluida kerja amonia atau freon. 

Konversi energi panas laut landasan darat alat utamanya terletak di darat, hanya sebagian kecil peralatan yang menjorok ke laut. Kelebihan sistem ini adalah dayanya lebih stabil dan pemeliharaannya lebih mudah. Kekurangan sistem jenis ini membutuhkan keadaan pantai yang curam, agar tidak memerlukan pipa air dingin yang panjang. Status teknologi konversi energi panas laut jenis ini baru pada tahap percontohan dengan kapasitas 100 W dan dengan fluida kerja freon yang dilakukan oleh TEPSCO-Jepang, dengan lokasi percontohan di Kepulauan Nauru. Selain itu dibangun pusat penelitian dan pengembangan konversi energi panas laut landasan darat (STF) yang terletak di Hawaii. 

Untuk konversi energi panas laut terapung landasan permanen, diperlukan sistem penambat dan sistem transmisi bawah laut, sehingga permasalahan utamanya pada sistem penambat dan teknologi transmisi bawah laut yang mahal. Jenis ini masih dalam taraf penelitian dan pengembangan. 

Konversi energi panas laut terapung kapal beroperasi dengan bebas karena dibangun di atas kapal. Biasanya energi listrik yang dihasilkan untuk memproduksi berbagai bahan yaitu amonia, hidrogen, methanol, dan lain-lain. 

Status teknologi konversi energi panas laut jenis ini baru taraf percontohan, dengan nama pembangkit Mini OTEC yang berkapasitas 50 kW dengan lokasi percontohan di laut Hawaii. Mini OTEC menghasilkan daya bersih 10 kW sampai 15 kW. Selain itu, pada tempat yang sama beroperasi konversi energi panas laut dengan nama OTEC1 dengan kapasitas 1 MW. 

Perkembangan teknologi konversi energi panas laut di Indonesia baru mencapai status penelitian, dengan jenis konversi energi panas laut landasan darat dan dengan kapasitas 100 kW, lokasi di Bali Utara. 

Secara umum kendala pada teknologi konversi energi panas laut adalah efisiensi pemompaan yang masih rendah, korosi pipa, bahan pipa air dingin, dan biofouling, yang semuanya menyangkut investasi. Selain itu kajian sumber daya kelautan masih terbatas terhadap langkah pengembangan konversi energi panas laut. 

Tidak kurang dari 100 lokasi di dunia yang dinilai sebagai tempat yang cocok bagi pembangunan pembangkit energi pasang surut. Sistem pemanfaatan energi pasang surut pada dasarnya dibedakan menjadi dua yaitu kolam tunggal dan kolam ganda. Pada sistem pertama energi pasang surut dimanfaatkan hanya pada perioda air surut (ebb period) atau pada perioda air naik (flood time). Sedangkan sistem yang kedua adalah kolam ganda kedua perioda baik sewaktu air pasang maupun air surut energinya dimanfaatkan. Turbin dan saluran terletak dalam satu bendungan (dam) yang memisahkan kolam dan laut. Sewaktu air pasang permukaan air di kolam sama dengan permukaan laut. Sewaktu air mulai surut terjadilah perbedaan tinggi air (head) antara kolam dan laut yang menyebabkan air mulai mengalir ke arah laut dan memutar turbin. 

Pada sistem kolam ganda turbin akan berkerja dalam dua arah aliran. Kedua kolam dipisahkan oleh satu bendungan (dam) yang didalamnya terdapat turbin dua arah, masing-masing kolam memiliki saluran yang menghubungkan dengan laut. Meskipun turbin bekerja terus-menerus tetapi kecepatannya bervariasi, selain dengan perbedaan tinggi permukaan air di kolam dan permukaan laut. Perbedaan tinggi antara permukaan air di kolam dan permukaan air laut di tempat-tempat energi pasang surut berkisar beberapa meter sampai 13 meter. 

Penelitian pemanfaatan energi pasang surut telah dilakukan oleh beberapa negara; Perancis, Rusia, Amerika Serikat, dan Kanada sejak tahun 1920. Setelah lebih dari 40 tahun-tahun 1966- pembangkit energi listrik berkekuatan 240 MW yang digerakan oleh tenaga pasang surut berhasil dibangun oleh Perancis di pantai Estuari Rance. Di Rusia ada proyek energi pasang surut dengan kapasitas 2176 MW di Bay of Fundy. 

Berdasarkan estimasi kasar jumlah energi pasang surut di samudera seluruh dunia adalah 3.106 MW. Khusus untuk Indonesia beberapa daerah yang mempunyai potensi energi pasang surut adalah Bagan Siapi-api, yang pasang surutnya mencapai 7 meter, Teluk Palu yang ini struktur geologinya merupakan patahan (Palu Graben) sehingga memungkinkan gejala pasang surut, Teluk Bima di Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), Kalimantan Barat, Papua, dan Pantai Selatan Pulau Jawa. 

Gelombang laut merupakan salah satu bentuk energi yang bisa dimanfaatkan dengan mengetahui tinggi gelombang, panjang gelombang, dan periode waktunya. Ada empat teknologi energi gelombang yaitu sistem rakit Cockerell, tabung tegak Kayser, pelampung Salter, dan tabung Masuda. Sistem rakit Cockerell berbentuk untaian rakit-rakit yang saling dihubungkan dengan engsel-engsel dan sistem ini bergerak naik turun mengikuti gelombang laut. Gerakan relatif rakit-rakit menggerakkan pompa hidrolik yang berada di antara dua rakit. 

Sistem tabung tegak Kayser menggunakan pelampung yang bergerak naik turun dalam tabung karena adanya tekanan air. Gerakan relatif antara pelampung dan tabung menimbulkan tekanan hidrolik yang dapat diubah menjadi energi listrik. 

Sistem Pelampung Salter memanfaatkan gerakan relatif antara bagian/pembungkus luar (external hull) dan bandul didalamnya (internal pendulum) untuk diubah menjadi energi listrik. 

Pada sistem tabung Masuda metodenya adalah memanfaatkan gerak gelombang laut masuk ke dalam ruang bawah dalam pelampung dan menimbulkan gerakan perpindahan udara di bagian ruangan atas dalam pelampung. Gerakan perpindahan udara ini dapat menggerakkan turbin udara. 

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Finlandia, dan Belanda, banyak menaruh perhatian pada energi ini. Lokasi potensial untuk membangun sistem energi gelombang adalah di laut lepas, daerah lintang sedang dan di perairan pantai. Energi gelombang bisa dikembangkan di Indonesia di laut selatan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. (Harsono, 2003). Beberapa langkah awal telah dimulai di PKSPL IPB untuk menggunakan algae sebagai bahan untuk bioenergi, sehingga fungsi laut sebagai sumber aktivitas ekonomi akan terus berkembang. 

3.3. Pariwisata Bahari 

Negara Bagian Queensland, Australia, dengan panjang garis pantai 2.100 kilometer, mampu menghasilkan devisa 2 miliar dolar AS pada 2002. Tentunya hal ini menimbulkan keirian, mengapa Indonesia tidak bias mengembangan pariwisata bahari yang mempunyai nilai setidaknya mendekati apa yang diperoleh oleh Negara Bagian Queensland tersebut. 

Bila melihat nilai PDB nasional yang disumbang oleh pariwisata bahari pada Tahun 1998 sebesar 1,31 % dan meningkat menjadi 1,42 % pada Tahun 2002, maka terdapat optimisme yang muncul. Namun demikian, berdasarkan perhitungan PKSPL IPB, 2006 menunjukkan bahwa peningkatan kontribusi pariwisata bahari terhdap PDB nasional pada Tahun 2005 diperkirakan mencapai 1,46 %. Angka ini sebenarnya bisa jauh meningkat sangat signifikan. Berdasarkan kajian, diperoleh proyeksi bahwa pada Tahun 2007 hingga Tahun 2010 seharusnya kontribusi pariwisata bahari dapat meningkat hingga 0,1 % setiap tahun. Asumsi utama yang digunakan adalah adanya sumberdaya pulau-pulau kecil yang ada di wilayah Negara ini. Bila upaya pengembangan pulau-pulau kecil dilakukan secara serius, seharusnya dapat mendorong pertumbuhan wisatawan asing untuk berkunjung ke Indonesia. 

Hasil kajian Kusumastanto (2001) menunjukkan nilai ekonomi total suatu pulau kecil di Indonesia bila akan dikembangkan untuk kawasan wisata mempunyai nilai sebesar US $ 52.809,37 per Hektar. Sehingga sangat beralasan bila kita serius untuk mengembangan pariwisata bahari, maka akan terkait dengan pengembangan pulau-pulau kecil sebagai specific marine tourism di Indonesia. 

Pembangunan pariwisata bahari pada hakikatnya adalah upaya mengembangkan dan memanfaatkan obyek serta daya tarik wisata bahari di kawasan pesisir dan lautan Indonesia, berupa kekayaan alam yang indah, keragaman flora dan fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias. 

Beberapa jenis kegiatan wisata bahari pada saat ini sudah dikembangkan oleh pemerintah dan swasta, di antaranya wisata alam, pemancingan, berenang, selancar, berlayar, rekreasi pantai dan wisata pesiar. 

Sumberdaya hayati pesisir dan lautan Indonesia seperti populasi ikan hias yang diperkirakan sekitar 263 jenis, terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove dan berbagai bentang alam pesisir atau coastal landscape yang unik lainnya membentuk suatu pemandangan alamiah yang begitu menakjubkan. Kondisi tersebut menjadi daya tarik sangat besar bagi wisatawan sehingga pantas bila dijadikan sebagai objek wisata bahari. 

Objek wisata bahari lainnya yang berpotensi besar adalah wilayah pantai. Pada umumnya, Indonesia memiliki kondisi pantai yang indah dan alami. Di antaranya adalah pantai barat Sumatera, Pulau Simeuleu. Nusa Dua Bali dan pantai terjal berbatu di selatan Pulau Lombok. Wilayah pantai menawarkan jasa dalam bentuk panorama pantai yang indah, tempat pemandian yang bersih dan juga tempat untuk melakukan kegiatan berselancar air atau surfing. Terutama pada pantai yang landai, memiliki ombak yang besar dan berkesinambungan. 

Dengan demkian terdapat dua faktor penting dalam strategi pembangunan kegiatan pariwisata nasional. Pertama, faktor internal berupa strategi terukur manajemen daya tarik objek wisata, yang terkait mulai dari aspek teknis, strategi jasa pelayanan sampai kepada strategi penawaran. Kedua, faktor eksternal berupa dukungan perangkat kebijakan dari pemerintah serta penciptaan iklim keamanan yang kondusif bagi kegiatan pariwisata di Indonesia. 

Selanjutnya, dalam membenahi strategi pengembangan pariwisata bahari, maka secara teknis ada sejumlah upaya yang harus dilakukan. Pertama, pengembangan sarana dan prasarana wisata bahari. Kedua, peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang pengembangan wisata bahari secara terpadu. Ketiga, penyediaan sistem informasi pariwisata dan program promosi yang tepat. 

Di lain pihak, ada faktor-faktor nonteknis yang berasal dari unsur kebijakan pemerintah namun turut mempengaruhi daya tarik kegiatan wisata yang juga perlu dibenahi, antara lain kebijakan dalam kemudahan mendapatkan visa bagi kunjungan wisata, dan memudahkan pengurusan Cruising Approval For Indonesian Territiry, Custom, Imiggration, Fort Clearance and Quarantine atau kemudahan untuk mengurus dokumen-dokumen kepariwisataan. 


Ada pula pemikiran tentang menetapkan pelabuhan sebagai ”pintu masuk” wisata dan mengembangkannya sesuai standar internasional. Juga upaya menciptakan suasana aman dan nyaman sebagai iklim yang kondusif demi berlansungnya kegiatan pariwisata. Semoga tulisan ini dapat dijadikan paradigma baru pembangunan dunia kepariwisataan Indonesia yang berbasis pada industri pariwisata dan ekonomi kerakyatan 

3.4. Industri Maritim: Kasus industri Garam 

Berdasarkan kajian PKSPL-IPB (2006), sekalipun merupakan Negara bahari yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 kilometer, Indonesia akan sulit swasembada garam. Alasannya, tidak ada hamparan lahan luas di kawasan pesisir pantai untuk dijadikan ladang garam berskala besar. Penyebab lain, musim kemarau pada sebagian wilayah Indonesia sangat pendek, yakni empat sampai enam bulan. 

Saat ini, Indonesia hanya memiliki ladang garam seluas 25.383 hektar dengan total produksi 1,7 juta ton. Sementara kebutuhan nasional pada tahun 2002 mencapai 2,8 juta ton, dengan total pertumbuhan kebutuhan 8,4 persen. Itu berarti, untuk dapat berswasembada garam, Indonesia membutuhkan lahan minimal 55.000 hektar karena kemampuan produksi hanya 40 ton-60 ton per hektar per tahun. 

Alasan lain, minat investor untuk menanamkan modal dalam usaha produksi garam sangat rendah. Bahkan, saat ini hanya ada satu perusahaan di bidang ini, yakni PT Garam dengan areal seluas 5.116 hektar. Selebihnya dikelola petani secara tradisional pada lahan 25.542 hektar. Harga yang diberlakukan pun sangat rendah, yakni Rp 250-Rp 500 per kilogram. Akibatnya, setiap tahun hampir tak ada penambahan lahan garam baru. Malahan, yang terjadi adalah penyusutan lahan karena dialihfungsikan untuk usaha lain. 

Berdasarkan data Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005 hingga saat ini hanya ada satu perusahaan yang mau berinvestasi di usaha pergaraman. Diketahui bahwa salah satu penyebabnya adalah karena bidang usaha ini tidak dapat dilakukan dalam skala besar, sebab belum ditemukan hamparan kawasan pesisir seluas minimal 10.000 hektar. 

Investasi bidang usaha ini juga membutuhkan investasi yang tinggi dengan risiko yang cukup besar. Akibatnya, pedagang cenderung memilih menjadi importir garam, sebab tak membutuhkan biaya investasi mahal. Apalagi, tak pernah diberlakukan bea masuk (BM) impor garam sehingga harga gula impor jauh lebih murah dibanding garam lokal. 

Sehingga DKP saat ini sedang mencari lahan kawasan pesisir di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Selatan. Di dua provinsi ini masih terdapat lahan yang cukup luas dengan musim kemarau yang panjang. Peluang akan ditawarkan kepada sejumlah investor untuk membuka usaha garam dengan melibatkan rakyat setempat. Jika diminati dan mulai ada investasi, maka pemerintah akan memberikan sejumlah stimulus.

0 Response to "Klasifikasi dan Arah Pengembangan Jasa Kelautan "

Post a Comment